Coretan tinta : RANTI SUCI
LESTARI
Minggu, 11 Mei 2014 adalah hari dimana setiap orang menginginkan bisa
istirahat santai dan melemaskan badan setelah kemarin bersibuk-sibuk ria. Seorang
gadis terlihat begitu senang. Bibirnya dihiasi senyum, lalu Sambil bersenandung
dibukanya tudung nasi di atas meja makan. Tiba-tiba ekspresi wajahnya berubah,
matanya melotot dan mulutnya melongo. Seketika pipinya langsung merah padam
dan...
Jamilah: Nurillll!!!!!!.....
Jamilah berteriak lantang memanggil adiknya yang bikin masalah
lagi. Nafasnya naik turun dan matanya hampir mau copot melihat meja makan yang
kosong melompong.
Nuril: Waaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa
KROSAK...KROSAK.... BRUK...
Nuril: Aduuuuh!....
ya ampun... suara Mbk Jamil bener-bener jelmaan geledek.
Nuril jatuh dari pohon rambutan di belakang rumah. Rambutnya
acak-acakan dan mukanya cemang-cemong karena jatuh di kubangan bekas hujan tadi
malam.
Jamilah: Nurillllll!,
awas kamu, bener-bener tak pites kamu, dasar adek nyebelin.... balikin ayam
bakarku.....!
Jamilah langsung tancap ke halaman belakang. Sedang nuril sedang
mengusap-usap tangan dan kakinya yang kesakitan.
Jamilah: Nurill, awas
kamu. balikin ayam bakarku!”
Nuril: Hehehehe....,
maaf ya Mbku yang cantiknya kebablasan. Eh, maksudku Mbk Jamil yang baik hati.
Tadi Nuril laper banget. Jadi raib deh ayam bakar Mbk. Hehehehe
Jamilah: Aku gak mau
tauk! Pokoknya kamu beliin lagi ayam bakar impor dari mas Pedro!
Nuril: Hah?, impor?
Mas pedro? Bukannya itu beli di warung makan di pinggir gang itu ya Mbk?
Wah.... Mbk Milah ngimpinya jauh banget. Nanti gak bisa pulang lho....
Jamilah dengan sigap menghampiri Nuril yang terduduk di tanah
sambil membawa sapu ijuk.
Jamilah: Dasar.....Nurillll..
AWAS kamu!.
Nuril: Kabuuuuuuuur........!
Nuril langsung ambil langkah seribu menghindari Jamilah yang
bersiap memukulnya dengan sapu. Jamilah sudah begitu kepingin makan ayam bakar
sejak setengah tahun yang lalu. Tentunya bukan ayam bakar biasa, namun ayam
bakar spesial buatan Mas Pedro alias Pendi Dwiroso yang jualannya hanya sebulan
sekali dan setoknya terbatas. Mas Pedro yang terkenal dengan ayam bakar pedas
asinnya yang yahut seantero kota Sukamarah hanya sanggup jualan sekali dalam
sebulan karena kesibukannya sebagai dokter bedah hewan dan ketua Organisasi
Pecinta Ternak tak sanggup disambi. Jualan ayam bakar itu hanyalah sekedar hobi
dan tak ada niat untuk mengembangkannya menjadi bisnis. Menurutnya memasak dan
menjualnya secara langka merupakan keunikan tersendiri daripada
pedagang-pedagang lain, dan itu menjadikannya terkenal karena keanehan gaya
jualnya.
Jamilah sudah berkali-kali mengantri untuk dapat membeli ayam bakar
tersebut. Mungkin sudah lebih dari sepuluh kali berturut-turut kehabisan saat
akan membeli. Tapi Jamilah tak pernah putus asa dan semakin gigih mengantri.
Hingga tadi pagi dia sudah stand by di lapak jualan Mas pedro sehabis
sholat subuh. Padahal Mas Pedro baru membuka lapaknya sekitar jam 10 pagi. Benar-benar
perjuangan yang gigih.
***
Nuril berjalan dengan wajah kusut sambil menendang bebatuan yang
dia lewati. Dengan wajah kusut, mulutnya terus ngedumel tak jelas. Tiba-tiba
dia berpapasan dengan seorang kakek tua bertongkat duduk di trotoar jalan
sambil memijit-mijit kakinya. Dia sempat memperhatikan kakek itu sejenak. Ada
perasaan iba merasuk dalam hatinya, namun kakinya tetap terus berjalan dan
ketika dekat dengan sang kakek Nuril langsung memalingkan pandangannya ke
depan.
Nuril terus berjalan tanpa tujuan, tanpa terasa dia sampai di depan
rumah Bu Giyem, kakak nomor lima dari ibunya, alias mbokdenya. Tanpa pikir
panjang kakinya melangkah ke sana.
Tok..tok...tok...
Nuril: Assalamualaikum!
Mbokde, ini Nuril.
CENGEKKKK..., pintu terbuka.
Bu Giyem : Walaikumsalam...!
tumben, ngapain kamu kesini, Ril?
Nuril: Abis diamuk
Mbk Jamil Mbokde.
Nuril lalu duduk di bangku teras depan. Bu Giyem mengikuti sambil
duduk di bangku sebelahnya.
Bu Giyem: Palingan juga
kamu bikin masalah lagi to?
Nuril: Bukan masalah
Mbokde. Cuman Mbk Milah aja yang lebay. Beli ayam bakar cuman satu. Ya aku
sikat. Tarus ngamuk mau sabet Nuril pake sapu.
Bu Giyem: Oalah
le..le.., terus yang kamu anggep bikin masalah itu yang wujudnya kayak mana?
Bakar rumah, maling ayam apa banting orang?
Nuril: Kayak korupsi itu
lho Mbokde, itu baru jelas orang bikin masalah. kalo menurut Nuril kasus yang sekarang
itu bukan salah Nuril, jadi bukan bikin masalah namanya Mbokde. Nuril cuman
pengen minta hak Nuril sebagai adiknya yang dizolimi. Semua kakak tertua itukan
harus berbagi sama adeknya.
Bu Giyem: Ceritanya itu
gimana? Jelasin ke Mbokde coba.
Nuril: Gini lho Mbokde,
Mbk Jamil itu beli ayam bakarnya Mas Pedro alias si Bang Pendi yang jualannya
gak jelas maunya apa itu lho, cuman satu... pas banget aku laper gara-gara gak
sarapan tadi pagi. Nah aku inget waktu kapan itu Mbk Jamil pernah janji mau
beliin aku makanan enak kalo aku katam Qur’an. Udah dibeliin juga si, tapikan
Mbk Jamil gak bilang mau beliin berapa kali. Jadi ayam bakar itu tak anggep
hadiah dari Mbk Jamil. Nah pas banget kan itu Mbokde?
Bu Giyem: Lah, semua
orang dari yang orok sampek yang mau sakaratul maut aja wes paham kalo si Mas
Pendi itu jualan cuman sebulan sekali karena sibuk. Biar adil, satu orang itu
ya bolehnya beli satu bungkus. Kalo banyak-banyak kasian yang lain gak
kebagian.
Nuril: Tapikan Mbk
Jamil bisa beli satu lagi di warung laen. Yang jual ayam bakarkan gak cuman si
Mas Pedro-pedro itu.
Bu Giyem: Mungkin Mbkmu
gak kepikiran atau duitnya abis atau ada alesan lainnya. Kamu jangan suuzon
dulu kenapa?
Nuril: Nggak
kepikiran? Berarti Mbk Jamil zolim dong sama Nuril karena ngelupain adeknya?
Jadi sah-sah aja dong Nuril sikat ayam bakarnya.
Bu Giyem: Oalah, dasar
cah ngeyel.
Nuril: Wah Mbokde,
hati-hati lho De. Kata-kata itu doa. Kalo aku doa kayak gitu juga untuk Mbokde.
Mau nggak?
Bu Giyem: Kenapa gak
untuk kamu sendiri kata-katamu itu. Yo weslah, karepmu! Susah ngomong sama
bocah yang kepalanya diamplas pake batu.
***
Pukul lima sore Nuril baru pulang dari rumah Pakde Miran. Dia
mengendap-endap seperti maling saat memasuki pintu dapur. Setelah dirasa aman
Nuril mulai berjalan masuk namun bajunya serasa kecantol sesuatu.
Jamilah: Dari mana kamu
Ril?
Jamilah menarik baju
Nuril dari belakang.
Nuril: Eh, Mbk Milah.
Assalamualaikum Mbk!
Jamilah: Walaikum
salam. Kemana aja kamu? (sewot)
Nuril: Dari rumah
Mbokde Miran Mbk, udah lama gak maen. Hehehehe
Mata Jamilah
menatap Nuril tajam setajam silet. Nuril malah cengengesan gak karuan. Sejenak
suasana hening menunggu tindakan Jamilah selanjutnya.
Jamilah: Huh....Percuma
marah sama kamu. Tapi besok, awas kamu ulangi lagi. Bener-bener tak pites terus
tak goreng kamu Ril.
Nuril: Iya deh Mbk.
Pis...pis...
Jamilah: Oya Ril, Hp kamu
tadi kebanting waktu Mbk gak sengaja beresin kamar kamu. maaf ya!
Nuril: Apa?
Jamilah langsung
nyelonong masuk meninggalkan Nuril yang masih diam karena terkejut.
Nuril: Pokoknya Mbk
Milah harus ganti. Titik.
Jamilah: Iya, nanti tak
kasih uang buat ganti kesing. Orang cuman kesingnya aja kox yang rusak.
Nuril: Janji!
Jamilah: Iyya, udah
sana mandi! Bauk tauk...
***
Esok harinya Nuril pulang sekolah sambil menuntun sepedanya yang
bocor. Langkahnya terpincang-pincang karena terjatuh di semak-semak samping
sekolah.
Sejenak dia berhenti, ada seorang kakek tua kurus berbaju putih
dengan kaki yang yang hanya sebelah berjalan perlahan-lahan membawa keranjang
bambu yang besar. Sebenarnya Nuril bukannya pertama kali melihat kakek itu
berseliweran di pinggir jalan. Tapi sudah beberapa kali dan dia hanya bisa
menatapnya sambil berlalu atau pura-pura tak melihat dan pergi dengan
sepedanya. Tapi kali ini dia begitu dekat dengan kakek itu. Jalannya yang
terpincang-pincang sambil menuntun sepeda masih lebih cepat daripada kakek tua
itu yang hanya mampu menggeser langkahnya beberapa senti setiap lima detik.
Sret...sret...
Jarak Nuril hanya dua meter dari kakek itu. Matanya tak lepas
menatap wajah kakek tua itu sambil terus menuntun sepedanya. Ada debaran aneh
di dadanya. Mulutnya seperti ingin mengucapkan sesuatu namun tertahan. Tangannya
merogoh kantong celana dan kemeja batiknya. Dia hanya menemukan uang receh lima
ratusan dan satu permen karet. Niat untuk memberi sedekah pun akhirnya urung.
“Uang lima ratus mana bisa membantu.” Bisiknya dalam hati.
Akhirnya dia terus berjalan kedepan sambil sesekali menoleh ke
belakang melihat kakek itu. Ada sedikit rasa menyesal dan perasaan akan ketidakberdayaan
dirinya yang tak bisa membantu.
Ketika Nuril sampai di rumah, Jamilah langsung berdiri di
hadapannya dengan berkacak pinggang.
Nuril: Haduh, kenapa
lagi Mbk Jamilah ini?
Jamilah: Nurilll!,
jangan bilang kamu ambil celengan Mbk di bawah kasur!
Jamilah mengintrogasi adiknya dengan tatapan selidik dan wajah garang.
Nuril: Celengan yang
kertas itu ya mbk? Hehehehe. Aku beliin Hp baru. Hp akukan dibanting Mbk. Jadi
aku minta ganti rugi dong...
Jamilah: Apa? Mbk kan
udah bilang gak sengaja. Lagian Hp kamu juga rusaknya gak parah. Kamu tau gak
celengan itu buat apa?
Nuril: Salah Mbk
sendiri dong. Kalo Mbk gak banting Hpku aku juga gak bakal beli Hp baru dengan
uang celengan Mbk.
Jamilah: Kamukan bisa
ngomong dulu sebelumnya sama mbk. Gak asal ambil gitu aja.
Nuril: Kalo aku
ngomong, Mbk pasti larang sambil ngomel-ngomel, terus gak jadi beli Hp baru
dong.
Jamilah: NURILLLLLL.......................
Nuril: Jangan
teriak-teriak gitu kenapa? Pecah telingaku nanti.
Jamilah: Tobat aku
Ril....
***
Sore harinya Nuril berniat ke konter untuk mengganti kesing Hp
lamanya yang rusak. Sekali lagi dia bertemu dengan kakek itu di pertigaan
komplek Perumahan Bintang. Sekarang dia membawa uang yang lebih dan bisa
disedekahkan. Tapi, lama dia menimbang keinginannya dan hanya termenung di sisi
jalan sambil menatap si kakek tua. Awalnya dia ingin menggunakan uangnya untuk
membeli kesing hp. Di dalam hatinya bergelut antara niat bersedekah, beli
kesing dan rasa canggung dan malu mendekati kakek tua itu.
Setelah persidangan dalam batinya selesai, Nuril akhirnya
menyiapkan uang sepuluh ribu rupiah untuk disedekahkan. Ketika dia mulai
mendekati kakek tua itu langkahnya terhenti. Seorang anak kecil berlari
menghampiri kakek tersebut dan menyerahkan celengan yang dibungkus kresek putih
bening. Seketika rasa canggung dan malu yang luar biasa menjajah diri Nuril.
Niat baiknya telah didahului oleh orang lain, yang menurutnya tak begitu mampu
untuk bersedekah pada orang lain. Bahkan jumlah sedekahnya pasti lebih besar
dibanding dirinya sendiri. Tak ingin tingkah lakunya diperhatikan Nuril
berbalik ke belakang.
Tak berselang lama lewatlah rombongan yang mengantarkan jenazah
entah siapa menuju pemakaman. Tiba-tiba telinga Nuril menangkap pembicaraan dua
orang perempuan yang ikut dalam rombongan.
Rumi: Nggak nyangka
banget ya, Bu Sumi sekarang udah meninggal.
Tere : Iya, padahal
belum lama ini keluarga saya maen ke rumahnya. Beliau itu baek banget sama
keluarga saya, salah satunya sering gratisin makanan di warungnya.
Rumi : Aku juga
pernah ngutang di sana, eh malah waktu bayar gak diterima, alesannya buat jajan
anak saya aja.
Tere : Ya, semoga aja
Bu Sumi nanti dilapangkan kuburnya yo Rum.”
Rumi: Amin...
Perbincangan mereka semakin lama sayup-sayup terdengar. Segala yang
dibicarakan mereka hanyalah kebaikan dari almarhum. Setelah rombongan jauh
Nuril beranjak pergi. Nuril berjalan gontai menuju rumahnya. Sepanjang
perjalanan dia merenung. Rencananya membeli kesing dan bersedekah tak ada yang
tercapai. Tapi sebelum sampai di rumah Nuril menjual Hp barunya kepada Agus
teman sekolahnya dengan harga yang sama saat dia membeli Hp tersebut.
Di rumah Nuril langsung menghadap Jamilah dengan sikap dan tatapan
lain dari biasanya. Saat itu Jamilah sedang duduk santai membaca novel di
kamarnya.
Nuril: Ini mbk, uang
ganti celengan Mbk yang aku ambil. Maaf ya! Terus maaf juga buat ayam bakarnya,
nanti aku beliin. Tapi jangan suruh beli di tempat Mas Pedro ya Mbk. Aku gak
mau antri.
Jamilah: Sebentar, Kamu
gak lagi sakitkan?
Nuril: Ye,,,,, orang
mau berbuat baik malah dibilang sakit.
Jamilah: Habis kamu ini
langka kalo baik sama Mbkmu yang cantik ini. hehhehe
Nuril terdiam, kalimat terakhir Jamilah membuatnya termenung.
Jamilah merasa aneh dengan sikap Nuril yang demikian. Sebenarnya banyak
pertannyaan yang muncul di hati Jamilah dengan perubahan sikap Nuril barusan.
Tapi Jamilah mencoba untuk diam dan menunggu reaksi selanjutnya dari Nuril.
Nuril: Aku pengen Mbk
Jamilah bisa punya kenangan yang baik tentang aku. Maaf ya mbk, Nuril udah
nyusahin Mbk selama ini.
Mata Nuril berkaca-kaca sambil menunduk. Ada kata-kata lain yang
sebenarnya ingin dia sampaikan pada Jamilah, namun tiba-tiba dia alihkan
pandangannya dan merubah ekspresi wajahnya dengan senyuman ringan lalu
mengalihkan pembicaraan.
Nuril: Udah ah,
lebay. Nuril kekamar dulu ya Mbk. Mau tidur. Eh, mau belajar maksudnya. Serius
lho...
Jamilah: Iyya... yaudah
sana! Belajar yang rajin.... hemmmm, Oya Nuril,
Nuril: Kenapa Mbk?
Jamilah: Istikomah ya!
Mbk dukung dari belakang.
Mereka saling berbalas senyum, senyum yang begitu tulus dan
mendamaikan hati. Nuril lalu masuk kekamarnya dan jamilah tak henti-hentinya
mengucap syukur dalam hati, karena malu didengar adiknya dan ada rasa canggung
untuk mengucapakan secara langsung karena tak biasa. Waktu terus berlari sambil
tersenyum, dan angin membawa doa ke seluruh penjuru bumi.
Allah Swt. memang memberi ganjaran pahala pada setiap niat untuk
berbuat kebaikan, tapi niat tak akan berarti jika tetap masih berwujud niat.
Kita tak akan bisa membalikkan telapak tangan jika hanya berniat akan melakukannya
saja, tanpa ada tindakan nyata dari tangan itu sendiri. Jangan sampai kita
menyesal karena niat kita terlambat atau bahkan tak bisa direalisasikan. Itu
adalah sebuah kerugian yang besar. Maka, memulai tindakan nyata adalah sesuatu
yang lebih berharga dibanding hanya berniat.
Ingatlah kata-kata ini:
“Jika aku meninggal sekarang, Apa yang akan diucapkan oleh
orang-orang jika mereka tidak pernah melihat kebaikan pada diriku dan tidak
pula mendengar kata-kata baik keluar dari mulutku?”
Renungkanlah..........
0 komentar:
Posting Komentar