Selasa, 28 April 2015

KETIKA NURANI TAK SAMPAI

Coretan tinta : RANTI SUCI LESTARI

Minggu, 11 Mei 2014 adalah hari dimana setiap orang menginginkan bisa istirahat santai dan melemaskan badan setelah kemarin bersibuk-sibuk ria. Seorang gadis terlihat begitu senang. Bibirnya dihiasi senyum, lalu Sambil bersenandung dibukanya tudung nasi di atas meja makan. Tiba-tiba ekspresi wajahnya berubah, matanya melotot dan mulutnya melongo. Seketika pipinya langsung merah padam dan...
Jamilah: Nurillll!!!!!!.....
Jamilah berteriak lantang memanggil adiknya yang bikin masalah lagi. Nafasnya naik turun dan matanya hampir mau copot melihat meja makan yang kosong melompong.
Nuril: Waaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa
KROSAK...KROSAK.... BRUK...
Nuril: Aduuuuh!.... ya ampun... suara Mbk Jamil bener-bener jelmaan geledek.
Nuril jatuh dari pohon rambutan di belakang rumah. Rambutnya acak-acakan dan mukanya cemang-cemong karena jatuh di kubangan bekas hujan tadi malam.
Jamilah: Nurillllll!, awas kamu, bener-bener tak pites kamu, dasar adek nyebelin.... balikin ayam bakarku.....!
Jamilah langsung tancap ke halaman belakang. Sedang nuril sedang mengusap-usap tangan dan kakinya yang kesakitan.
Jamilah: Nurill, awas kamu. balikin ayam bakarku!”
Nuril: Hehehehe...., maaf ya Mbku yang cantiknya kebablasan. Eh, maksudku Mbk Jamil yang baik hati. Tadi Nuril laper banget. Jadi raib deh ayam bakar Mbk. Hehehehe
Jamilah: Aku gak mau tauk! Pokoknya kamu beliin lagi ayam bakar impor dari mas Pedro!
Nuril: Hah?, impor? Mas pedro? Bukannya itu beli di warung makan di pinggir gang itu ya Mbk? Wah.... Mbk Milah ngimpinya jauh banget. Nanti gak bisa pulang lho....
Jamilah dengan sigap menghampiri Nuril yang terduduk di tanah sambil membawa sapu ijuk.
Jamilah: Dasar.....Nurillll.. AWAS kamu!.
Nuril: Kabuuuuuuuur........!
Nuril langsung ambil langkah seribu menghindari Jamilah yang bersiap memukulnya dengan sapu. Jamilah sudah begitu kepingin makan ayam bakar sejak setengah tahun yang lalu. Tentunya bukan ayam bakar biasa, namun ayam bakar spesial buatan Mas Pedro alias Pendi Dwiroso yang jualannya hanya sebulan sekali dan setoknya terbatas. Mas Pedro yang terkenal dengan ayam bakar pedas asinnya yang yahut seantero kota Sukamarah hanya sanggup jualan sekali dalam sebulan karena kesibukannya sebagai dokter bedah hewan dan ketua Organisasi Pecinta Ternak tak sanggup disambi. Jualan ayam bakar itu hanyalah sekedar hobi dan tak ada niat untuk mengembangkannya menjadi bisnis. Menurutnya memasak dan menjualnya secara langka merupakan keunikan tersendiri daripada pedagang-pedagang lain, dan itu menjadikannya terkenal karena keanehan gaya jualnya.  
Jamilah sudah berkali-kali mengantri untuk dapat membeli ayam bakar tersebut. Mungkin sudah lebih dari sepuluh kali berturut-turut kehabisan saat akan membeli. Tapi Jamilah tak pernah putus asa dan semakin gigih mengantri. Hingga tadi pagi dia sudah stand by di lapak jualan Mas pedro sehabis sholat subuh. Padahal Mas Pedro baru membuka lapaknya sekitar jam 10 pagi. Benar-benar perjuangan yang gigih.
***
Nuril berjalan dengan wajah kusut sambil menendang bebatuan yang dia lewati. Dengan wajah kusut, mulutnya terus ngedumel tak jelas. Tiba-tiba dia berpapasan dengan seorang kakek tua bertongkat duduk di trotoar jalan sambil memijit-mijit kakinya. Dia sempat memperhatikan kakek itu sejenak. Ada perasaan iba merasuk dalam hatinya, namun kakinya tetap terus berjalan dan ketika dekat dengan sang kakek Nuril langsung memalingkan pandangannya ke depan.
Nuril terus berjalan tanpa tujuan, tanpa terasa dia sampai di depan rumah Bu Giyem, kakak nomor lima dari ibunya, alias mbokdenya. Tanpa pikir panjang kakinya melangkah ke sana.
Tok..tok...tok...
Nuril: Assalamualaikum! Mbokde, ini Nuril.
CENGEKKKK..., pintu terbuka.
Bu Giyem : Walaikumsalam...! tumben, ngapain kamu kesini, Ril?
Nuril: Abis diamuk Mbk Jamil Mbokde.
Nuril lalu duduk di bangku teras depan. Bu Giyem mengikuti sambil duduk di bangku sebelahnya.
Bu Giyem: Palingan juga kamu bikin masalah lagi to?
Nuril: Bukan masalah Mbokde. Cuman Mbk Milah aja yang lebay. Beli ayam bakar cuman satu. Ya aku sikat. Tarus ngamuk mau sabet Nuril pake sapu.
Bu Giyem: Oalah le..le.., terus yang kamu anggep bikin masalah itu yang wujudnya kayak mana? Bakar rumah, maling ayam apa banting orang?
Nuril: Kayak korupsi itu lho Mbokde, itu baru jelas orang bikin masalah. kalo menurut Nuril kasus yang sekarang itu bukan salah Nuril, jadi bukan bikin masalah namanya Mbokde. Nuril cuman pengen minta hak Nuril sebagai adiknya yang dizolimi. Semua kakak tertua itukan harus berbagi sama adeknya.
Bu Giyem: Ceritanya itu gimana? Jelasin ke Mbokde coba.
Nuril: Gini lho Mbokde, Mbk Jamil itu beli ayam bakarnya Mas Pedro alias si Bang Pendi yang jualannya gak jelas maunya apa itu lho, cuman satu... pas banget aku laper gara-gara gak sarapan tadi pagi. Nah aku inget waktu kapan itu Mbk Jamil pernah janji mau beliin aku makanan enak kalo aku katam Qur’an. Udah dibeliin juga si, tapikan Mbk Jamil gak bilang mau beliin berapa kali. Jadi ayam bakar itu tak anggep hadiah dari Mbk Jamil. Nah pas banget kan itu Mbokde?
Bu Giyem: Lah, semua orang dari yang orok sampek yang mau sakaratul maut aja wes paham kalo si Mas Pendi itu jualan cuman sebulan sekali karena sibuk. Biar adil, satu orang itu ya bolehnya beli satu bungkus. Kalo banyak-banyak kasian yang lain gak kebagian.
Nuril: Tapikan Mbk Jamil bisa beli satu lagi di warung laen. Yang jual ayam bakarkan gak cuman si Mas Pedro-pedro itu.
Bu Giyem: Mungkin Mbkmu gak kepikiran atau duitnya abis atau ada alesan lainnya. Kamu jangan suuzon dulu kenapa?
Nuril: Nggak kepikiran? Berarti Mbk Jamil zolim dong sama Nuril karena ngelupain adeknya? Jadi sah-sah aja dong Nuril sikat ayam bakarnya.
Bu Giyem: Oalah, dasar cah ngeyel.
Nuril: Wah Mbokde, hati-hati lho De. Kata-kata itu doa. Kalo aku doa kayak gitu juga untuk Mbokde. Mau nggak?
Bu Giyem: Kenapa gak untuk kamu sendiri kata-katamu itu. Yo weslah, karepmu! Susah ngomong sama bocah yang kepalanya diamplas pake batu.
***
Pukul lima sore Nuril baru pulang dari rumah Pakde Miran. Dia mengendap-endap seperti maling saat memasuki pintu dapur. Setelah dirasa aman Nuril mulai berjalan masuk namun bajunya serasa kecantol sesuatu.
Jamilah: Dari mana kamu Ril?
            Jamilah menarik baju Nuril dari belakang.
Nuril: Eh, Mbk Milah. Assalamualaikum Mbk!
Jamilah: Walaikum salam. Kemana aja kamu? (sewot)
Nuril: Dari rumah Mbokde Miran Mbk, udah lama gak maen. Hehehehe
            Mata Jamilah menatap Nuril tajam setajam silet. Nuril malah cengengesan gak karuan. Sejenak suasana hening menunggu tindakan Jamilah selanjutnya.
Jamilah: Huh....Percuma marah sama kamu. Tapi besok, awas kamu ulangi lagi. Bener-bener tak pites terus tak goreng kamu Ril.
Nuril: Iya deh Mbk. Pis...pis...
Jamilah: Oya Ril, Hp kamu tadi kebanting waktu Mbk gak sengaja beresin kamar kamu. maaf ya!
Nuril: Apa?
            Jamilah langsung nyelonong masuk meninggalkan Nuril yang masih diam karena terkejut.
Nuril: Pokoknya Mbk Milah harus ganti. Titik.
Jamilah: Iya, nanti tak kasih uang buat ganti kesing. Orang cuman kesingnya aja kox yang rusak.
Nuril: Janji!
Jamilah: Iyya, udah sana mandi! Bauk tauk...
***
Esok harinya Nuril pulang sekolah sambil menuntun sepedanya yang bocor. Langkahnya terpincang-pincang karena terjatuh di semak-semak samping sekolah.
Sejenak dia berhenti, ada seorang kakek tua kurus berbaju putih dengan kaki yang yang hanya sebelah berjalan perlahan-lahan membawa keranjang bambu yang besar. Sebenarnya Nuril bukannya pertama kali melihat kakek itu berseliweran di pinggir jalan. Tapi sudah beberapa kali dan dia hanya bisa menatapnya sambil berlalu atau pura-pura tak melihat dan pergi dengan sepedanya. Tapi kali ini dia begitu dekat dengan kakek itu. Jalannya yang terpincang-pincang sambil menuntun sepeda masih lebih cepat daripada kakek tua itu yang hanya mampu menggeser langkahnya beberapa senti setiap lima detik.
Sret...sret...
Jarak Nuril hanya dua meter dari kakek itu. Matanya tak lepas menatap wajah kakek tua itu sambil terus menuntun sepedanya. Ada debaran aneh di dadanya. Mulutnya seperti ingin mengucapkan sesuatu namun tertahan. Tangannya merogoh kantong celana dan kemeja batiknya. Dia hanya menemukan uang receh lima ratusan dan satu permen karet. Niat untuk memberi sedekah pun akhirnya urung.
“Uang lima ratus mana bisa membantu.” Bisiknya dalam hati.
Akhirnya dia terus berjalan kedepan sambil sesekali menoleh ke belakang melihat kakek itu. Ada sedikit rasa menyesal dan perasaan akan ketidakberdayaan dirinya yang tak bisa membantu.
Ketika Nuril sampai di rumah, Jamilah langsung berdiri di hadapannya dengan berkacak pinggang.
Nuril: Haduh, kenapa lagi Mbk Jamilah ini?
Jamilah: Nurilll!, jangan bilang kamu ambil celengan Mbk di bawah kasur!
Jamilah mengintrogasi adiknya dengan tatapan selidik dan wajah garang.
Nuril: Celengan yang kertas itu ya mbk? Hehehehe. Aku beliin Hp baru. Hp akukan dibanting Mbk. Jadi aku minta ganti rugi dong...
Jamilah: Apa? Mbk kan udah bilang gak sengaja. Lagian Hp kamu juga rusaknya gak parah. Kamu tau gak celengan itu buat apa?
Nuril: Salah Mbk sendiri dong. Kalo Mbk gak banting Hpku aku juga gak bakal beli Hp baru dengan uang celengan Mbk.
Jamilah: Kamukan bisa ngomong dulu sebelumnya sama mbk. Gak asal ambil gitu aja.
Nuril: Kalo aku ngomong, Mbk pasti larang sambil ngomel-ngomel, terus gak jadi beli Hp baru dong.
Jamilah: NURILLLLLL.......................
Nuril: Jangan teriak-teriak gitu kenapa? Pecah telingaku nanti.
Jamilah: Tobat aku Ril....
***
Sore harinya Nuril berniat ke konter untuk mengganti kesing Hp lamanya yang rusak. Sekali lagi dia bertemu dengan kakek itu di pertigaan komplek Perumahan Bintang. Sekarang dia membawa uang yang lebih dan bisa disedekahkan. Tapi, lama dia menimbang keinginannya dan hanya termenung di sisi jalan sambil menatap si kakek tua. Awalnya dia ingin menggunakan uangnya untuk membeli kesing hp. Di dalam hatinya bergelut antara niat bersedekah, beli kesing dan rasa canggung dan malu mendekati kakek tua itu.
Setelah persidangan dalam batinya selesai, Nuril akhirnya menyiapkan uang sepuluh ribu rupiah untuk disedekahkan. Ketika dia mulai mendekati kakek tua itu langkahnya terhenti. Seorang anak kecil berlari menghampiri kakek tersebut dan menyerahkan celengan yang dibungkus kresek putih bening. Seketika rasa canggung dan malu yang luar biasa menjajah diri Nuril. Niat baiknya telah didahului oleh orang lain, yang menurutnya tak begitu mampu untuk bersedekah pada orang lain. Bahkan jumlah sedekahnya pasti lebih besar dibanding dirinya sendiri. Tak ingin tingkah lakunya diperhatikan Nuril berbalik ke belakang.
Tak berselang lama lewatlah rombongan yang mengantarkan jenazah entah siapa menuju pemakaman. Tiba-tiba telinga Nuril menangkap pembicaraan dua orang perempuan yang ikut dalam rombongan.
Rumi: Nggak nyangka banget ya, Bu Sumi sekarang udah meninggal.
Tere : Iya, padahal belum lama ini keluarga saya maen ke rumahnya. Beliau itu baek banget sama keluarga saya, salah satunya sering gratisin makanan di warungnya.
Rumi : Aku juga pernah ngutang di sana, eh malah waktu bayar gak diterima, alesannya buat jajan anak saya aja.
Tere : Ya, semoga aja Bu Sumi nanti dilapangkan kuburnya yo Rum.”
Rumi: Amin...
Perbincangan mereka semakin lama sayup-sayup terdengar. Segala yang dibicarakan mereka hanyalah kebaikan dari almarhum. Setelah rombongan jauh Nuril beranjak pergi. Nuril berjalan gontai menuju rumahnya. Sepanjang perjalanan dia merenung. Rencananya membeli kesing dan bersedekah tak ada yang tercapai. Tapi sebelum sampai di rumah Nuril menjual Hp barunya kepada Agus teman sekolahnya dengan harga yang sama saat dia membeli Hp tersebut.
Di rumah Nuril langsung menghadap Jamilah dengan sikap dan tatapan lain dari biasanya. Saat itu Jamilah sedang duduk santai membaca novel di kamarnya.
Nuril: Ini mbk, uang ganti celengan Mbk yang aku ambil. Maaf ya! Terus maaf juga buat ayam bakarnya, nanti aku beliin. Tapi jangan suruh beli di tempat Mas Pedro ya Mbk. Aku gak mau antri.
Jamilah: Sebentar, Kamu gak lagi sakitkan?
Nuril: Ye,,,,, orang mau berbuat baik malah dibilang sakit.
Jamilah: Habis kamu ini langka kalo baik sama Mbkmu yang cantik ini. hehhehe
Nuril terdiam, kalimat terakhir Jamilah membuatnya termenung. Jamilah merasa aneh dengan sikap Nuril yang demikian. Sebenarnya banyak pertannyaan yang muncul di hati Jamilah dengan perubahan sikap Nuril barusan. Tapi Jamilah mencoba untuk diam dan menunggu reaksi selanjutnya dari Nuril.
Nuril: Aku pengen Mbk Jamilah bisa punya kenangan yang baik tentang aku. Maaf ya mbk, Nuril udah nyusahin Mbk selama ini.
Mata Nuril berkaca-kaca sambil menunduk. Ada kata-kata lain yang sebenarnya ingin dia sampaikan pada Jamilah, namun tiba-tiba dia alihkan pandangannya dan merubah ekspresi wajahnya dengan senyuman ringan lalu mengalihkan pembicaraan.
Nuril: Udah ah, lebay. Nuril kekamar dulu ya Mbk. Mau tidur. Eh, mau belajar maksudnya. Serius lho...
Jamilah: Iyya... yaudah sana! Belajar yang rajin.... hemmmm, Oya Nuril,
Nuril: Kenapa Mbk?
Jamilah: Istikomah ya! Mbk dukung dari belakang.
Mereka saling berbalas senyum, senyum yang begitu tulus dan mendamaikan hati. Nuril lalu masuk kekamarnya dan jamilah tak henti-hentinya mengucap syukur dalam hati, karena malu didengar adiknya dan ada rasa canggung untuk mengucapakan secara langsung karena tak biasa. Waktu terus berlari sambil tersenyum, dan angin membawa doa ke seluruh penjuru bumi.
Allah Swt. memang memberi ganjaran pahala pada setiap niat untuk berbuat kebaikan, tapi niat tak akan berarti jika tetap masih berwujud niat. Kita tak akan bisa membalikkan telapak tangan jika hanya berniat akan melakukannya saja, tanpa ada tindakan nyata dari tangan itu sendiri. Jangan sampai kita menyesal karena niat kita terlambat atau bahkan tak bisa direalisasikan. Itu adalah sebuah kerugian yang besar. Maka, memulai tindakan nyata adalah sesuatu yang lebih berharga dibanding hanya berniat.
Ingatlah kata-kata ini:
“Jika aku meninggal sekarang, Apa yang akan diucapkan oleh orang-orang jika mereka tidak pernah melihat kebaikan pada diriku dan tidak pula mendengar kata-kata baik keluar dari mulutku?”

Renungkanlah..........

0 komentar:

Posting Komentar

luvne.com resepkuekeringku.com desainrumahnya.com yayasanbabysitterku.com