Coretan Tinta: RANTI SUCI LESTARI
“Siapa yang memegang kendali hidup wahai nyawa?” Hati bertanya
penuh harap.
“Bukankah Dia sang pencipta? Dan itulah kebenarannya.” Jawab nyawa
mantap.
“Lalu, siapa yang Dia sukai dalam hidup wahai nyawa?” Hati kembali
bertanya.
“Bukankah itu kau. Itu pun jika kau suka dengan kebenaran.” Nyawa
menjawab dengan ramah. Hati pun kembali tersenyum.
Pengalaman adalah guru terbaik dan ampuh dalam hidup. Seperti
pengalamanku yang menurutku agak lebay tapi begitu berkesan. Memaksaku memetik
hikmah dan berusaha istiqomah.
“Apakah kebenaran akan ampuh
jika disampaikan oleh orang yang tidak melaksanakan kebenaran itu?” pertanyaan
pokok yang menjadi inti dari kisahku.
Kejadian itu dan masalah-masalah akhir-akhir itu di rumah telah
membuatku gelisah dan takut. Aku bukanlah merenungi dia yang sebenarnya
menjadi topik masalah, tapi diriku sendiri yang lemah dan mengecewakan. Apa
yang dilakukan Putri menurutku berhubungan dengan keadaanku yang sedang futur.
Kurang rajin atau malas-malasan dalam mengerjakan hal baik dan beribadah.
Bukankah aku adalah contoh yang buruk?
Hatiku protes dengan perbuatanku dan membuat Putri juga terkena
imbasnya. Sepertinya Tuhan ingin mengingatkanku dengan prilaku Putri yang
sering membuat kesal. Memaksa untuk melakukan koreksi dan perbaikan diri
terutama hati. Meski sebenarnya masalah seperti itu pernah terjadi dan Tuhan
selalu memberi jalan keluar, tetapi tetap saja kesalahan itu terus terulang. Bukankah
manusia banyak yang tidak pandai bersyukur?
***
“Berangkat! Assalamu’alikum!”
Anak perempuan dengan seragam pramuka itu nyelonong keluar dari pintu belakang.
Nada suaranya ketus dan kesal. Kejengkelan dan amarah tergambar dari tatapan
matanya yang tajam dan tak acuh, bibirnya yang mahal senyum dan jalannya yang
terburu-buru menjauh.
“Put, gak mau dianter?” Aku langsung menyusul keluar. Hatiku
gelisah karena melihat hal yang tak biasa terjadi. Dengan beralas sandal jepit
kukejar adikku tersayang. Tak ada jawaban. Putri terus menjauh dengan langkah
cepat. Aku berhenti melangkah dan terpaku menatap punggung Putri. Percuma, dia
sedang kesal. Kesediahan dan gelisah muncul berjubel di hatiku.
Apa yang membuatnya kesal? Pertanyaan yang sering mengusik. Putri,
akhir-akhir itu sering ngambek dengan hal-hal yang sebenarnya sepele. Pagi itu
dia kesal sama Bapak yang makan es dugan yang tadinya mau dia bawa sekolah
sebagai bekal. Sedang belum lama, dia ngambek kerena disuruh membersihkan ikan
untuk lauk makan, “Amis!” Katanya. Padahal dia sebenarnya senang membantu Mamak, Bapak dan Mbknya.
Mamak juga heran dan gelisah melihat perubahan Putri yang aneh dan
menjengkelkan. “Putri ini sekarang sering ngambek itu. Kenapa coba?... Ci, coba
kamu ngomong sama dia pelan-pelan. Siapa tahu dia mau ngomong kalo kamu yang
nanya.” Aku selalu bilang “Iya mak, nanti tak coba.” Aku semakin bingung
dan hatiku sedih. Mamak tak mau menerima alasanku bahwa Putri masih labil dan
sedang mencari jati diri. Rumah yang tadinya damai dan bahagia berubah dengan aroma
kelabu dan murung.
Apakah dia punya masalah di luar? Atau, dia sudah terkontaminasi
dengan hal-hal buruk di lingkungan bermainnya? Apakah ada yang dia sembunyikan
hingga begitu mengusik dan membuatnya berontak dan tertekan? Berbagai
pertanyaan berjubel di kepalaku. Aku tak mampu mengontrol setiap prasangka
karena hatiku membutuhkan jawaban.
Entah dari mana ide itu muncul. Aku langsung menghidupkan NB
dan membuka sebuah folder. “Pesan seorang kakak pada adiknya” judul
berkas yang beberapa hari yang lalu aku download dari internet. Meski
tak begitu yakin aku cetak berkas itu meski pekerjaan rumah belum selesai. Yang
ada di pikiranku saat itu adalah harapan agar Putri kembali ramah seperti biasa
dan tidak marah lagi.
Kertas cetakan itu ditempelkan di tembok kamar adikku. Dengan penuh
pengharapan bahwa Putri akan membaca dan tahu isi hatiku. Meski didownload
dari internet tapi isi tulisan tersebut benar-benar menggambarkan perasaanku
yang sebenarnya. Meski agak lebay, tapi bukankah metode apapun jika itu untuk
kebenaran dan perdamaian adalah pantas dilakukan? Tentunya tak keluar dari
sebuah aturan.
Aku akhirnya berangkat ke kampus dengan hati gamang. Selama di
jalan aku merenung. Dengan kecepatan rata-rata lima puluh km/jam kujelajahi
pikiranku yang melayang. Terbersit sebuah pikiran bahwa akupun akhir-akhir itu
sedang tidak baik perilakunya. Jarang memenuhi targetan kegiatan dan ibadah.
Mungkin Putri berlaku demikian karena contoh yang kuberikan tidaklah bagus.
Bagaimana mungkin aku menyuruhnya berbuat yang baik tapi aku sendiri tidak
melakukannya?. Tuhan, maafkanlah hamba-Mu yang hina dan tak tahu diri ini...
***
Waktu itu aku sedang di kampus. kulangkahkan kaki dengan malas
menuju tempat parkir. Sesekali mengambil nafas dalam dan mendesah malas. aku
harus mempersiapkan hati menerima apapun kisah yang akan disuguhkan di rumah.
Mungkin istilah ‘Rumahku surgaku’ tak lagi berlaku untukku hari itu, tapi medan
tempur dimana aku harus mempersiapkan amunisi kesabaran di hati.
Perjalanan pulang diwarnai berbagai macam dialog hati yang
bergelut. Aku tak memacu motor dengan kencang. “Apakah Putri akan luluh hatinya
setelah membaca pesan itu? Jangan-jangan dia tidak melihat ada tulisan di
tembok kamarnya. Atau dia tak peduli dan malah menyobeknya?” prasangka yang
bergelayut semakin menyiksa hatiku.
Ketika sampai aku menghentikan laju motor perlahan. Begitu enggan
rasanya badan ini turun dari motor dan mengetuk pintu. “Bismillah.....,” Aku
tarik diriku sendiri supaya melangkah. Mencoba sabar menghadapi apapun yang
Tuhan takdirkan terjadi.
“Assalamu’alikum...!” Aku mengucapkan salam dengan lemah.
“Wa’alaikumsalam...!” Suara itu?. Perlahan daun pintu terbuka. Aku
merasa dadaku berdebar. Sesosok perempuan dengan senyum membuka pintu
lebar-lebar. Kelegaan langsung bertahta di hatiku. Kekhawatiran yang menyiksa
itu salah. Langkahku pun ringan memasuki pintu surga dalam rumah.
“Mbk,
langsung masukin aja lho motornya...!” wajah cerah yang biasa itu
kembali datang.
Adikku tidak ngambek lagi. Suasana rumah langsung beraroma ringan
dan bahagia seperti biasa. Rasa khawatir yang tadinya menjajah hati telah
pulang ke kota. Tadinya aku berpikir bahwa putri akan terus ngambek, namun
ternyata tidak. Apakah dia sudah membaca pesanku? Ah, waktu itu aku benar-benar
ingin tahu responnya. Tapi, sampai berapa lama kebahagian itu bertahan? Ada
sedikit rasa khawatir menyusup di hatiku.
Putri sudah besar sekarang. Dia pastinya sudah bisa berpikir mana
yang baik dan yang buruk. Meski kini dia sedang berkelana mencari jati diri.
Harus ada seseorang yang menjaga hati, percaya dan berprasangka baik padanya.
Dia seperti kaca yang berdebu, mudah ternoda jika terlalau lembut
membersihkannya, dan bisa retak dan pecah jika terlalu kasar dan kuat
membersihkannya. Tugasku adalah membekali Putri dengan bekal terbaik dan contoh
yang baik. Tentunya contoh yang istiqomah. Semoga sepenggal kisah ini takkan
hanya bernama kisah. Tapi hikmah dimana setiap hati mengenalnya dan memakainya
dalam setiap dialog.
0 komentar:
Posting Komentar