Selasa, 28 April 2015

DIALOG HATI

Coretan Tinta: RANTI SUCI LESTARI

“Siapa yang memegang kendali hidup wahai nyawa?” Hati bertanya penuh harap.
“Bukankah Dia sang pencipta? Dan itulah kebenarannya.” Jawab nyawa mantap.
“Lalu, siapa yang Dia sukai dalam hidup wahai nyawa?” Hati kembali bertanya.
“Bukankah itu kau. Itu pun jika kau suka dengan kebenaran.” Nyawa menjawab dengan ramah. Hati pun kembali tersenyum. 

Pengalaman adalah guru terbaik dan ampuh dalam hidup. Seperti pengalamanku yang menurutku agak lebay tapi begitu berkesan. Memaksaku memetik hikmah dan berusaha istiqomah.
 “Apakah kebenaran akan ampuh jika disampaikan oleh orang yang tidak melaksanakan kebenaran itu?” pertanyaan pokok yang menjadi inti dari kisahku.
Kejadian itu dan masalah-masalah akhir-akhir itu di rumah telah membuatku gelisah dan takut. Aku bukanlah merenungi dia yang sebenarnya menjadi topik masalah, tapi diriku sendiri yang lemah dan mengecewakan. Apa yang dilakukan Putri menurutku berhubungan dengan keadaanku yang sedang futur. Kurang rajin atau malas-malasan dalam mengerjakan hal baik dan beribadah. Bukankah aku adalah contoh yang buruk?
Hatiku protes dengan perbuatanku dan membuat Putri juga terkena imbasnya. Sepertinya Tuhan ingin mengingatkanku dengan prilaku Putri yang sering membuat kesal. Memaksa untuk melakukan koreksi dan perbaikan diri terutama hati. Meski sebenarnya masalah seperti itu pernah terjadi dan Tuhan selalu memberi jalan keluar, tetapi tetap saja kesalahan itu terus terulang. Bukankah manusia banyak yang tidak pandai bersyukur?
***
 “Berangkat! Assalamu’alikum!” Anak perempuan dengan seragam pramuka itu nyelonong keluar dari pintu belakang. Nada suaranya ketus dan kesal. Kejengkelan dan amarah tergambar dari tatapan matanya yang tajam dan tak acuh, bibirnya yang mahal senyum dan jalannya yang terburu-buru menjauh.
“Put, gak mau dianter?” Aku langsung menyusul keluar. Hatiku gelisah karena melihat hal yang tak biasa terjadi. Dengan beralas sandal jepit kukejar adikku tersayang. Tak ada jawaban. Putri terus menjauh dengan langkah cepat. Aku berhenti melangkah dan terpaku menatap punggung Putri. Percuma, dia sedang kesal. Kesediahan dan gelisah muncul berjubel di hatiku.
Apa yang membuatnya kesal? Pertanyaan yang sering mengusik. Putri, akhir-akhir itu sering ngambek dengan hal-hal yang sebenarnya sepele. Pagi itu dia kesal sama Bapak yang makan es dugan yang tadinya mau dia bawa sekolah sebagai bekal. Sedang belum lama, dia ngambek kerena disuruh membersihkan ikan untuk lauk makan, “Amis!” Katanya. Padahal dia sebenarnya senang  membantu Mamak, Bapak dan Mbknya.
Mamak juga heran dan gelisah melihat perubahan Putri yang aneh dan menjengkelkan. “Putri ini sekarang sering ngambek itu. Kenapa coba?... Ci, coba kamu ngomong sama dia pelan-pelan. Siapa tahu dia mau ngomong kalo kamu yang nanya.” Aku selalu bilang “Iya mak, nanti tak coba.” Aku semakin bingung dan hatiku sedih. Mamak tak mau menerima alasanku bahwa Putri masih labil dan sedang mencari jati diri. Rumah yang tadinya damai dan bahagia berubah dengan aroma kelabu dan murung.
Apakah dia punya masalah di luar? Atau, dia sudah terkontaminasi dengan hal-hal buruk di lingkungan bermainnya? Apakah ada yang dia sembunyikan hingga begitu mengusik dan membuatnya berontak dan tertekan? Berbagai pertanyaan berjubel di kepalaku. Aku tak mampu mengontrol setiap prasangka karena hatiku membutuhkan jawaban.   
Entah dari mana ide itu muncul. Aku langsung menghidupkan NB dan membuka sebuah folder. “Pesan seorang kakak pada adiknya” judul berkas yang beberapa hari yang lalu aku download dari internet. Meski tak begitu yakin aku cetak berkas itu meski pekerjaan rumah belum selesai. Yang ada di pikiranku saat itu adalah harapan agar Putri kembali ramah seperti biasa dan tidak marah lagi.
Kertas cetakan itu ditempelkan di tembok kamar adikku. Dengan penuh pengharapan bahwa Putri akan membaca dan tahu isi hatiku. Meski didownload dari internet tapi isi tulisan tersebut benar-benar menggambarkan perasaanku yang sebenarnya. Meski agak lebay, tapi bukankah metode apapun jika itu untuk kebenaran dan perdamaian adalah pantas dilakukan? Tentunya tak keluar dari sebuah aturan. 
Aku akhirnya berangkat ke kampus dengan hati gamang. Selama di jalan aku merenung. Dengan kecepatan rata-rata lima puluh km/jam kujelajahi pikiranku yang melayang. Terbersit sebuah pikiran bahwa akupun akhir-akhir itu sedang tidak baik perilakunya. Jarang memenuhi targetan kegiatan dan ibadah. Mungkin Putri berlaku demikian karena contoh yang kuberikan tidaklah bagus. Bagaimana mungkin aku menyuruhnya berbuat yang baik tapi aku sendiri tidak melakukannya?. Tuhan, maafkanlah hamba-Mu yang hina dan tak tahu diri ini...
***
Waktu itu aku sedang di kampus. kulangkahkan kaki dengan malas menuju tempat parkir. Sesekali mengambil nafas dalam dan mendesah malas. aku harus mempersiapkan hati menerima apapun kisah yang akan disuguhkan di rumah. Mungkin istilah ‘Rumahku surgaku’ tak lagi berlaku untukku hari itu, tapi medan tempur dimana aku harus mempersiapkan amunisi kesabaran di hati.
Perjalanan pulang diwarnai berbagai macam dialog hati yang bergelut. Aku tak memacu motor dengan kencang. “Apakah Putri akan luluh hatinya setelah membaca pesan itu? Jangan-jangan dia tidak melihat ada tulisan di tembok kamarnya. Atau dia tak peduli dan malah menyobeknya?” prasangka yang bergelayut semakin menyiksa hatiku.
Ketika sampai aku menghentikan laju motor perlahan. Begitu enggan rasanya badan ini turun dari motor dan mengetuk pintu. “Bismillah.....,” Aku tarik diriku sendiri supaya melangkah. Mencoba sabar menghadapi apapun yang Tuhan takdirkan terjadi. 
“Assalamu’alikum...!” Aku mengucapkan salam dengan lemah.
“Wa’alaikumsalam...!” Suara itu?. Perlahan daun pintu terbuka. Aku merasa dadaku berdebar. Sesosok perempuan dengan senyum membuka pintu lebar-lebar. Kelegaan langsung bertahta di hatiku. Kekhawatiran yang menyiksa itu salah. Langkahku pun ringan memasuki pintu surga dalam rumah.
“Mbk, langsung masukin aja lho motornya...!” wajah cerah yang biasa itu kembali datang.
Adikku tidak ngambek lagi. Suasana rumah langsung beraroma ringan dan bahagia seperti biasa. Rasa khawatir yang tadinya menjajah hati telah pulang ke kota. Tadinya aku berpikir bahwa putri akan terus ngambek, namun ternyata tidak. Apakah dia sudah membaca pesanku? Ah, waktu itu aku benar-benar ingin tahu responnya. Tapi, sampai berapa lama kebahagian itu bertahan? Ada sedikit rasa khawatir menyusup di hatiku. 
Putri sudah besar sekarang. Dia pastinya sudah bisa berpikir mana yang baik dan yang buruk. Meski kini dia sedang berkelana mencari jati diri. Harus ada seseorang yang menjaga hati, percaya dan berprasangka baik padanya. Dia seperti kaca yang berdebu, mudah ternoda jika terlalau lembut membersihkannya, dan bisa retak dan pecah jika terlalu kasar dan kuat membersihkannya. Tugasku adalah membekali Putri dengan bekal terbaik dan contoh yang baik. Tentunya contoh yang istiqomah. Semoga sepenggal kisah ini takkan hanya bernama kisah. Tapi hikmah dimana setiap hati mengenalnya dan memakainya dalam setiap dialog.     


0 komentar:

Posting Komentar

luvne.com resepkuekeringku.com desainrumahnya.com yayasanbabysitterku.com