Jumat, 08 Mei 2015

Biografi Agus R. Sarjono



Biografi Agus R. Sarjono.
Agus R. Sarjono dikenal sebagai penyair, cerpenis, dan esais. Ia lahir di Bandung, 27 Juli 1962. Agus R. Sarjono bersama istri dan dua anaknya kini tinggal di kawasan Cimanggis, Depok, Jawa Barat. Pendidikan formalnya diselesaikan di IKIP Bandung (S1) pada studi Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia; dan Kajian Sastra, Fakultas Ilmu Budaya, UI untuk S-2-nya.Semasa mahasiswa ia aktif di Unit Pers Mahasiswa IKIP Bandung sebagai ketua (1987-1989).
Agus adalah salah seorang Ketua DPH Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) periode 2003-2006. Sebelumnya ia adalah Ketua Komite Sastra DKJ periode 1998-2001. Sehari-hari, ia bekerja sebagai pengajar di Jurusan Teater Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Bandung serta menjadi redaktur majalah Sastra Horison.
Selain menjadi editor sejumlah buku antara lain: Saini KM: Puisi dan Beberapa Masalahnya (1993);Catatan Seni (1996); Kapita Selekta Teater (1996); Pembebasan Budaya-Budaya Kita (1999); Dari Fansuri ke Handayani (2001); Horison Sastra Indonesia (2002); Horison Esai (2003); Malam Sutera: Sitor Situmorang (2004); Teater Tanpa Masa Silam: Arifin C. Noer (2005); Poetry and Sincerity(2006), Agus R. Sarjono juga menulis beberapa cerita pendek.
Agus R. Sarjono kerap menulis puisi, cerpen, dan esai. Karyanya dimuat berbagai koran, majalah, dan jurnal terkemuka di Indonesia, Malaysia, dan Brunei Darussalam.
Puisinya telah banyak dikaji oleh peneliti dalam dan luar negeri. Dr. Heike Gäßler, teaterawan dan sinolog di Berlin adalah salah satu pengkaji puisi Agus R. Sarjono. Ia berpendapat tentang kumpulan puisi Tulang Segar dari Banyuwangi (Frische Knochen aus Banyuwangi). “Agus R. Sarjono tidak saja menciptakan gambar/imaji, tetapi juga membangunkan elemen dan figur dalam puisinya agar hidup. Ia membuatnya berkomunikasi seperti dalam suatu drama. Hal tersebut mengingatkan saya akan kebiasaan animistis. Selain mengikuti bengkel kerja puisi, seperti Asean Writers Conference/Workshop (Poetry) di Manila (1994); Agus juga pernah menjadi tutor/pendamping penyair Indonesia dalam Bengkel Puisi Majelis Sastera Asia Tenggara di Jakarta (1997).
Agus pernah diundang membacakan sajaknya di beberapa festival internasional, seperti Istiqlal International Poetry Reading di Jakarta (1995), Festival Seni Ipoh III di negeri Perak, Malaysia (1998); Malam Puisi Indonesia-Belanda di Erasmus Huis (1998); Festival de Winternachten di Den Haag, Belanda (1999; 2003), Malam Indonesia, Paris (1999); Festival Internasional Poetry on the Road, Bremen (2001), Internasionales Literaturfestival, Berlin (2001), dan Puisi Internasional Indonesia di Makassar dan Bandung (2002).
Ia kerap diundang pula menjadi pemakalah di berbagai kegiatan sastra, antara lain “Mimbar Penyair Abad 21" di TIM (1996); “Pertemuan Sastrawan Nusantara IX/Pertemuan Sastrawan Indonesia 1997" di Sumatera Barat; “Pertemuan Sastrawan Nusantara X/Pertemuan Sastrawan Malaysia I” di Johor Bahru.
Sejak Februari hingga Oktober 2001, Agus tinggal di Leiden, Belanda sebagai writer in residence atas undangan Poets of All Nations serta peneliti tamu pada International Institute for Asian Studies (IIAS), Universitas Leiden.
Ia juga pernah diundang sebagai penyair tamu di Heinrich Böll Haus, Langenbroich, Jerman, sejak Desember 2002 hingga Maret 2003. Dalam masa itu ia diundang berdiskusi dan membacakan puisinya di berbagai universitas terkemuka dan pusat kesenian di Jerman. Sejak enam tahun yang lalu, ia merupakan salah seorang instruktur sastra bagi para guru se-Indonesia. Kesibukannya yang lain adalah sebagai anggota Majelis Sastra Asia Tenggara yang disponsori oleh Pusat Bahasa, Departemen Pendidikan Nasional.
Salah satu karyanya pernah dimuat dalam cerpen pilihan Kompas 2003. Karya esainya diterbitkan dalam buku, antara lain Bahasa dan Bonafiditas Hatu (2001) dan Sastra dalam Empat Orba (2001). Karya dramanya, terbit dalam buku Atas Nama Cinta (2004). Puisinya terbit dalam berbagai antologi di Indonesia, bahkan di Manila (Filipina), Seoul (Korea Selatan), serta Bremen dan Berlin (Jerman). Selain itu, karyanya diterjemahkan pula ke dalam bahasa Inggris, Belanda, Jerman, Perancis, Serbia, Arab, Korea, dan China.
Bersama Berthold Damshauser, ia menjadi editor seri puisi Jerman dan menerjemahkan beberapa puisi, antara lain, Zaman Buruk bagi Puisi, Berthold Brecht (2004); Candu dan Ingatan, Paul Celan (2005); Satu dan Segalanya, Johann Wolfgang von Goethe (2007).

KARYA-KARYA
 Puisi:
1.       Kenduri Air Mata (1994; 1996)
2.       A Story from the Land of the Wind (1999, 2001)
3.       Suatu Cerita dari Negeri Angin (2001; 2003)
4.       Frische Knöckhen aus Banyuwangi (dalam bahasa Jerman, 2002)
5.       Diterbangkan Kata-Kata (antologi puisi, 2006)
6.       Kepada Urania (terjemahan karya Joseph Brodsky, 1998)
7.       Impian Kecemburuan (terjemahan karya Seamus Heaney, 1998)
Antologi Puisi:
·         Tangan Besi, Antologi Puisi Reformasi (1998)
Esai:
1.       Bahasa dan Bonafiditas Hantu (2001)
2.       Sastra dalam Empat Orba (2001)
Drama
·         Atas Nama Cinta (2004)
Sebagai Editor:
1.       Saini KM: Puisi dan Beberapa Masalahnya (1993)
2.       Catatan Seni (1996)
3.       Kapita Selekta Teater (1996)
4.       Pembebasan Budaya-budaya Kita (1999)
5.       Dari Fansuri ke Handayani (2001)
6.       Horison Sastra Indonesia 1-4 (2002), Horison Esai Indonesia 1-2 (2003)
7.       Rilke: Padamkan Mataku (Kumpulan Puisi, 2003)
8.       Bertolt Brecht: Zaman Buruk Bagi Puisi (Kumpulan Puisi, 2004)
9.       Malam Sutera: Sitor Situmorang (2004)
10.   Paul Celan: Candu dan Ingatan (Kumpulan Puisi, 2005)
11.   Teater tanpa Masa Silam (2005)
12.   Poetry and Sincerity (2006)
13.   Johann Wolfgang von Goethe: Satu dan Segalanya (Kumpulan Puisi, 2007)
14.   Hans Magnus Enzensberger: Coret Yang Tidak Perlu (Kumpulan Puisi, 2009)
15.   Friedrich Nietzsche: Syahwat Keabadian (Kumpulan Puisi, 2010)
Pencapaian:
1.       Asean Writers Conference, Manila (1995)
2.       Istiqlal International Poetry Reading, Jakarta (1995)
3.       Ipoh Arts Festival III, Negeri Perak, Malaysia (1998)
4.       The Netherlands-Indonesian Poetry Night di Erasmus Huis, Jakarta (1998)
5.       Festival de Winternachten", Den Haag (1999 and 2005)
6.       Poetry on the Road", Bremen (2001)
7.       Internationales Literaturfestival Berlin (2001)

8.       The Dubai International Poetry Festival (2009)

Kamis, 07 Mei 2015

Biografi Putu Wijaya


Biografi Sastrawan Putu Wijaya
Putu Wijaya yang kita kenal sebagai sastrawan mempunyai nama yang cukup panjang, yaitu I Gusti Ngurah Putu Wijaya. Dari namanya itu dapat diketahui bahwa ia berasal dari Bali. Putu memang dilahirkan di Puri Anom, Tabanan, Bali pada tanggal 11 April 1944. Pada masa remaja ia sudah menunjukkan kegemarannya pada dunia sastra. Saat masih duduk di sekolah menengah pertama di Bali, ia mulai menulis cerita pendek dan beberapa di antaranya dimuat di harian Suluh Indonesia, Bali. Ketika duduk di sekolah menengah atas, ia memperluas wawasannya dengan melibatkan diri dalam kegiatan sandiwara. Setelah selesai sekolah menengah atas, ia melanjutkan kuliahnya di Yogyakarta, kota seni dan budaya.
Di Yogyakarta, selain kuliah di Fakultas Hukum, UGM, ia juga mempelajari seni lukis di Akademi Seni Rupa Indonesia (ASRI), drama di Akademi Seni Drama dan Film (Asdrafi), dan meningkatkan kegiatannya bersastra. Dari Fakultas Hukum, UGM, ia meraih gelar sarjana hukum (1969), dari Asdrafi ia gagal dalam penulisan skripsi, dan dari kegiatan berkesenian ia mendapatkan identitasnya sebagai seniman.
Setelah kira-kira tujuh tahun tinggal di Yogyakarta, Putu pindah ke Jakarta. Di Jakarta ia bergabung dengan Teater Kecil dan Teater Populer. Di samping itu, ia juga bekerja sebagai redaktur majalah Ekspres. Setelah majalah itu mati, ia menjadi redaktur majalah Tempo (1971--1979). Bersama rekan-rekannya di majalah Tempo, Putu mendirikan Teater Mandiri (1974).
Pada saat masih bekerja di majalah Tempo, ia mendapat beasiswa belajar drama di Jepang (1973) selama satu tahun. Namun, karena tidak kerasan dengan lingkungannya, ia belajar hanya sepuluh bulan. Setelah itu, ia kembali aktif di majalah Tempo. Pada tahun 1975 ia mengikuti International Writing Program di Iowa, Amerika Serikat. Setelah itu, ia juga pernah menjadi redaktur majalah Zaman (19791985).
Ia juga mempunyai pengalaman bermain drama di luar negeri, antara lain dalam Festival Teater Sedunia di Nancy, Prancis (1974) dan dalam Festival Horizonte III di Berlin Barat, Jerman (1985). Ia juga membawa Teater Mandiri berkeliling Amerika dalam pementasan drama Yel dan berpentas di Jepang (2001). Di samping itu, ia juga pernah mengajar di Amerika Serikat (1985--1988).
Di samping itu, Putu juga menjadi sutradara film dan sinetron serta menulis skenario sinetron. Film yang disutradarainya ialah film Cas Cis Cus, Zig Zag, dan Plong. Sinetron yang disutradarainya ialah Dukun Palsu, PAS, None, Warteg, dan Jari-Jari. Skenario yang ditulisnya ialah Perawan Desa, Kembang Kertas, serta Ramadhan dan Ramona. Ketiga skenario itu memenangkan Piala Citra.
Selama bermukim di Yogyakarta, kegiatan sastranya lebih terfokus pada teater. Ia pernah tampil bersama Bengkel Teater pimpinan W.S. Rendra dalam beberapa pementasan, antara lain dalam pementasan Bip-Bop (1968) dan Menunggu Godot (1969). Ia juga pernah tampil bersama kelompok Sanggar Bambu. Selain itu, ia juga (telah berani) tampil dalam karyanya sendiri yang berjudul Lautan Bernyanyi (1969). Ia adalah penulis naskah sekaligus sutradara pementasan itu. Naskah dramanya itu menjadi pemenang ketiga Sayembara Penulisan Lakon yang diselenggarakan oleh Badan Pembina Teater Nasional Indonesia.
Karena kegiatan sastranya lebih menonjol pada bidang teater, Putu Wijaya pun lebih dikenal sebagai dramawan. Sebenarnya, selain berteater ia juga menulis cerpen dan novel dalam jumlah yang cukup banyak, di samping menulis esai tentang sastra. Sejumlah karyanya, baik drama, cerpen, maupun novel, telah diterjemahkan ke dalam bahasa asing, antara lain bahasa Inggris, Belanda, Prancis, Jerman, Jepang, Arab, dan Thailand.
Gaya Putu menulis novel tidak berbeda jauh dengan gayanya menulis drama. Seperti dalam karya dramanya, dalam novelnya pun ia cenderung mempergunakan gaya objektif dalam pusat pengisahan dan gaya stream of consciousness dalam pengungkapannya.
Terhadap karya-karya Putu itu, Rachmat Djoko Pradopo (dalam Memahami Drama Putu Wijaya: Aduh, 1985) memberi komentar bahwa Putu berani mengungkapkan kenyataan hidup karena dorongan naluri yang terpendam dalam bawah sadar, lebih-lebih libido seksual yang ada dalam daerah kegelapan.

Karya-karya Putu Wijaya
Drama   :
1.       Dalam Cahaya Bulan (1966)
2.       Lautan Bernyanyi (1967)
3.       Bila Malam Bertambah Malam (1970)
4.       Invalid (1974)
5.       Tak Sampai Tiga Bulan (1974)
6.       Anu (1974)
7.       Aduh (1975)
8.       Dag-Dig-Dug (1976)
9.       Gerr (1986)
10.   Edan
11.   Hum-Pim-Pah
12.   Dor
13.   Blong
14.   Ayo
15.   Awas
16.   Los
17.   Aum
18.   Zat
19.   Tai
20.   Front
21.   Aib
22.   Wah
23.   Hah
24.   Jpret
25.   Aeng
26.   Aut
27.   Dar-Dir-Dor

Novel    :
1.       Bila Malam Bertambah Malam (1971)
2.       Pabrik (1976)
3.       Stasiun (1977)
4.       Keok (1978)
5.       Sobat (1981)
6.       Lho (1982)
7.       Telegram (1972)
8.       Tiba-Tiba Malam (1977)
9.       Pol (1987)
10.   Terror (1991)
11.   Merdeka (1994)
12.   Perang (1992)
13.   Lima (1992)
14.   Nol (1992)
15.   Dang Dut (1992)
16.   Kroco (1995)
17.   Byarpet (1995)
18.   Cas-Cis-Cus (1995)
19.   Aus (1996)

Kumpulan Cerpen :
1.       Bom (1978)
2.       Es (1980)
3.       Gres (1982)
4.       Klop, Bor, Protes (1994)
5.       Darah (1995)
6.       Yel (1995)
7.       Blok (1994)
8.       Zig Zag (1996)
9.       Tidak (1999)

Novelet :
1.       MS (1977)
2.       Tak Cukup Sedih (1977)
3.       Ratu (1977)
4.       Sah (1977)

Karya esainya terdapat dalam kumpulan esai Beban, Kentut, Samar, Pembabatan, Klise, Tradisi Baru, Terror Mental, dan Bertolak dari yang Ada.
Penghargaan yang telah diterimanya ialah sebagai berikut:
1.       1967 Pemenang ketiga Lomba Sayembara Penulisan Lakon Badan Pembina Teater Nasional Indonesia (drama Lautan Bernyanyi)
2.       1971 Pemenang Sayembara Mengarang Roman DKJ (novel Telegram)
3.       1975 Pemenang Sayembara Mengarang Roman DKJ (novel Stasiun)
4.       1980 Penerima SEA Write Award dari Kerajaan Thailand
5.       1991-1992 Penerima Profesional Fellowship dari The Japan Foundation, Kyoto, Jepang
demikian tadi biografi sastrawan Putu Wijaya


Rabu, 06 Mei 2015

Biografi Achdiat Karta Miharja

Biografi Achdiat Karta Miharja
 
Achdiat Karta Miharja lahir di Cibatu, Garut, Jawa Barat, tanggal 6 Maret 1911. Ia dibesarkan dalam lingkungan keluarga menak yang feodal. Ayahnya bernama Kosasih Kartamiharja, seorang pejabat pangreh praja di Jawa Barat. Achdiat rnenikah dengan Suprapti pada bulan Juli 1938. Dari pernikahan itu, mereka dikaruniai lima orang anak.
Ia memulai sekolah dasarnya di HIS (sekolah Belanda) Bandung dan tamat tahun 1925. Ia masuk ke AMS (sekolah Belanda setara SMA), Bagian Sastra dan Kebudayaan Timur, di Solo tahun 1932. Lalu, ia melanjutkan kuliah di Universitas Indonesia, Jakarta. Ketika kuliah, ia pernah diajar oleh Prof. Beerling dan Pastur Dr. Jacobs S.J., dosen filsafat, tahun 1956 dalam rangka Colombo Plan. Achdiat mendapat kesempatan belajar bahasa dan sastra Inggris serta karang-mengarang di Australia.

Pendidikan Achdiat Karta Miharja
Setelah tamat dari AMS, Achdiat sempat mengajar di Perguruan Nasional, Taman Siswa, tetapi tidak lama. Tahun 1934 Ia bekerja menjadi anggota redaksi Bintang Timur dan redaktur mingguanPaninjauan. Tahun 1941 Ia menjadi redaktur Balai Pustaka. Pada zaman pendudukan Jepang, Achdiat menjadi penerjemah di bagian siaran, radio Jakarta. Tahun 1946 ia memimpin mingguan Gelombang Zaman dan Kemajuan Rakyat yang terbit di Garut sekaligus menjadi anggota bagian penerangan penyelidik Divisi Siliwangi. Tahun 1948 Ia kembali bekerja sebagai redaktur Balai Pustaka. Tahun 1949 Ia menjadi redaktur kebudayaan di berbagai majalah, seperti Spektra dan Pujangga Baru di samping sebagai pembantu kebudayaan harian Indonesia Raya dan Konfrontasi. Pada tahun 1951--1961, Ia dipercayai memegang jabatan Kepala Bagian Naskah dan majalah Jawatan Pendidikan Masyarakat Kementerian PPK.

Karir Achdiat Karta Miharja
Pada tahun 1951 Achdiat juga menjadi Wakil Ketua Organisasi Pengarang Indonesia (OPI) dan anggota pengurus Badan Musyawarah Kebudayaan Nasional (BMKN). Pada tahun itu juga, ia bertugas menjadi Ketua Seksi Kesusastraan Badan Penasihat Siaran Radio Republik Indonesia (BPSR) dan menjadi Ketua Pen-Club Internasional Sentrum Indonesia. Tahun 1954 Achdiat menjabat ketua bagian naskah/majalah baru. Tahun 1959 ia menjadi anggota juri Hadiah Berkala BMKN untuk kesusastraan. Tahun 1959--1961 Achdiat menjadi dosen Sastra Indonesia Modern di Fakultas Sastra, Universitas Indonesia, Jakarta. Pada tahun 1961—1969 ia mendapat kesempatan untuk menjadi Lektor Kepala (senior lecturer) di Australian National University (ANU), Canberra.
Achdiat tertarik pada sastra berawal dari rumahnya sendiri ketika ia masih kecil, masih di SD. Ayahnya adalah seorang penggemar sastra, terutama sastra dunia. Ayahnya sering menceritakan kembali karya yang telah dibacanya kepada Achdiat. Lama-kelamaan, Achdiat kecil pun menjadi gemar juga membaca buku koleksi ayahnya itu. Ia pun ikut membaca semua buku sastra milik ayahnya.  Dari koleksi ayahnya, ia telah membaca, antara lain, buku karangan Dostojweski, Dumas, dan Multatuli. Buku Quo Vadis karya H. Sinckiwicq, Alleen op de Wereld karya Hector Malot danGenoveva karya C. von Schimdt, bahkan telah dibacanya ketika ia kelas VI SD.
Hasilnya adalah tulisan Achdiat, baik  yang berupa karya sastra maupun esai tentang sastra atau kebudayaan. Novelnya yang berjudul Atheis adalah novel yang membawa namanya di deretan pengarang novel terkemuka di Indonesia. Banyak pakar sastra yang membicarakan novelnya itu, antara lain, Ajip Rosidi, Boen S. Oemarjati, A. Teeuw, dan Jakob Sumardjo.

KARYA Achdiat Karta Miharja:
A.      Cerita Pendek Achdiat Karta Miharja
1.       Kesan dan Kenangan (kump. cerpen) (Jakarta: Balai Pustaka, 1960)
2.       2.. Keretakan dan Ketegangan (kump. cerpen) (Jakarta: Balai Pustaka, 1956)
3.       Belitan Nasib (kump. cerpen) ( Singapura: Pustaka Nasional. 1975)
4.       Pembunuh dan Anjing Hitam (kump. cerpen) (Jakarta: Balai Pustaka)
5.       “Pak Sarkam” ( Poedjangga Baroe, No.5, Th. 13, 1951)
6.       “Buku Tuan X” (Poedjangga Baroe. No.7,8, Th. 4, 1953)
7.       “Salim, Norma, Sophie” (Prosa, No,2, Th. 1, 1953)
8.       “Sutedjo dan Rukmini” (Indonesia, No. 8,9, Th. 4, 1953)
9.       “Bekas Wartawan Sudirun” (Indonesia, Th. 4, 1953)
10.   “Si Ayah Menyusul” (Konfrontasi, No. 18, 1957)
11.   “Si Pemabok” (Varia, No. 104, Th. 3. 1960)
12.   “Latihan Melukis” (Budaya Jaya, No. 47, Th. 5. 1972)

B.      Puisi Achdiat Karta Miharja
1.       “Pemuda Indonesia” (Gelombang Zaman, 2.1, 45).
2.       “Bagai Melati” (Gelombang Zaman, 7.1, 46)
3.       “Bunga Bangsa” (Gelombang Zaman, 13.1 46)
4.       “O, Pudjangga”   (Gelombang Zaman, 35.1, 46)

C.      Novel Achdiat Karta Miharja
1.       Atheis (Jakarta: Balai Pustaka, 1949)
2.       Debu Cinta Bertebaran (Malaysia: Pena Mas, 1973)

D.      Drama
1.       "Bentrokan dalam Asmara" (Jakarta: Balai Pustaka, 1952)
2.       " Pak Dulah in Extremis” (Indonesia. No. 5, Th. 10. 1959)
3.       “Keluarga R. Sastro” (drama satu babak) (Indonesia. No. 8. Th.5. 1959)

E.       Esai
a.       Polemik Kebudayaan (Jakarta: Balai Pustaka, 1948)
b.      “Ada Sifat Tuhan dalam Diri Kita" (Pikiran Rakyat, 28 Juni 1991)
c.       “Pengaruh Kebudayaan Feodal” (Sikap, Th. Ke-1, 13/X, 1948)
d.      “Bercakap-cakap dengan Jef Last” (Kebudayaan, 10 Agustus 1950)


Biografi Acep Zam Zam Noor


Berikut ini biografi singkat Acep Zam Zam Noor kecil sampai remaja menghabiskan waktunya di pondok pesantren. Acep Zam Zam Noor adalah sastrawan yang lahir tanggal 28 Februari 1960. Kepenyairannya lahir di Cipasung, tepatnya di Pondok Pesantren Cipasung, Tasikmalaya. Karena dilahirkan dan dibesarkan di pondok pesantren,  nuansa keislaman dalam karyanya sangat terasa.
"Cipasung" adalah sebuah puisi yang ditulisnya. Puisi itu menggambarkan keadaan desa yang tenang dan damai dengan nuansa Islam yang kental. Selain nuansa keislaman, nuansa Jawa Barat juga sangat terasa. Beberapa puisinya  ada yang ditulis dengan menggunakan bahasa Sunda. Di Pondok Pesantren Cipasung pula, Acep mendirikan komunitas sastra, yaitu Sanggar Sastra Tasik dan Komunitas Azan, yang bergerak dalam pembinaan dan pemasyarakatan sastra, khususnya, dan kesenian serta kebudayaan, pada umumnya.  Meskipun ayah Acep Zam Zam Noor seorang ulama Nahdlatul Ulama yang terkenal di Pondok Pesantren Cipasung,  Acep tidak mengikuti jejak ayahnya. Dia lebih memilih jalur kesenian sebagai jalan hidupnya.
Ketika duduk di bangku SMP, bakat menulis Acep kian tampak. Pada awalnya, dia menulis puisi dengan menggunakan bahasa Sunda. Selain itu, ia menulis puisi dengan menggunakan bahasa Indonesia. Puisi pertama yang ditulis kemudian dimuat dalam media massa yang terbit di Bandung dan Jakarta. Bakat menulisnya terus berkembang. Setelah menamatkan bangku SMA di Pondok Pesantren As-Syafi’iyah, Jakarta, Acep melanjutkan sekolah di Bandung. Acep yang mengenyam kuliah di Fakultas Seni Rupa dan Desain ITB kian bersemangat untuk menulis.  Acep tidak hanya menulis puisi, tetapi juga melukis dan ikut aktif terlibat dalam klub diskusi kesenian. Setelah menamatkan kuliah di Jurusan Seni Lukis, Fakultas Seni Rupa dan Desain, Institut Teknologi Bandung (1980—1987), Acep tetap berkesenian. Tahun 1991—1993, Acep mendapat bea siswa dari pemerintah Italia untuk belajar di Universitas Stranieri, Perugia, Italia. Antara melukis dan menulis puisi bagi Acep merupakan satu kesatuan dalam kehidupan yang tidak dapat dipisahkan. Di sela-sela kesibukan menulis puisi dan mengikuti pameran di beberapa tempat, Acep juga sibuk membimbing penulis muda untuk terus menulis di sanggarnya di Cipasung, Tasikmalaya.
Kegiatan lainnya, selain menulis puisi dan mengikuti beberapa pameran, Acep juga  menjadi pendamping delegasi Indonesia dalam Bengkel Puisi Majelis Sastra Asia Tenggara (Mastera) Jakarta tahun 1977. Tahun 2001 mengikuti Festival Puisi Internasional Winternachten Overzee di Teater Utan Kayu, Jakarta, dan mengikuti  acara Southeast Asian Writers Meet di Kulala Lumpur tahun 2002,  mengikuti Festival Puisi Internasional di Makassar, dan mengikuti kegiatan di Den Haag, Belanda, tahun 2004.
Karya Acep Zam Zam Noor:
1.       Tamparlah Muka (1982)
2.       Aku Kini Doa (1986)
3.       Kasidah Sunyi (1989)
4.       Dayeuh Matapoe (puisi Sunda, 1993)
5.       Dari Kota Hujan (1996)
6.       Di Luar Kota (1996)
7.       Di Atas Umbria (1999)
8.       Dongeng dari Negeri Sembako (2001)
9.       Jalan Menuju Rumahku (2004)
Selain kumpulan puisi yang telah diterbitkan, karya puisi Acep juga ada yang pernah dimuat dalam majalah sastra dan jurnal, seperti majalah Horison, Kalam, Ulumul Qur’an, Jurnal Puisi,  Dewan Sastra Jurnal Puisi Melayu (Malaysia), dan Perisa. Beberapa karya puisinya juga telah dimuat dalam beberapa antologi, seperti:
1.       Antologi Puisi Indonesia Modern Tonggak IV (Gramedia, 1987)
2.       Dari Negeri Poci II (Tiara, 1994)
3.       Ketika Kata Ketika Warna (Yayasan Ananda, 1995)
4.       Takbir Para Penyair (Festival Istiqal, 1995)
5.       Negeri Bayang-Bayang (Festival Surabaya, 1996)
6.       Cermin Alam (Taman Budaya Jabar, 1996)
7.       Utan Kayu: Tafsir dalam Permainan (Kalam, 1998)
8.       Angkatan 2000 (Gramedia, 2001)
9.       Dari Fansuri ke Handayani (Horison, 2001)
10.   Horison Sastra Indonesia (Horison, 2002)
11.   Napas Gunung (Dewan Kesenian Jakarta, 2004)
Selain karya puisi yang ditulisnya bertema religius dan sosial, Acep Zam Zam Noor juga menulis puisi cinta yang romantis. Antologi puisinya yang berjudul Menjadi Penyair Lagi (Penerbit Pustala Azan, 2007) mewakili tren “puisi romantis”. Antologi ini dibagi dalam dua kelompok. Kelompok 1 berisis puisi lama (1978—1989) yang menurut  Acep “sempat tercecer dan terlupakan” selama ini.
Sebagian lagi berisi puisi barunya (1990—2006). Puisinya juga  telah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris yang dimuat dalam The Poets Chant (Jakarta, 1995), In Words in Colour (Jakarta, 1995), A Bonsai’s Morning (Bali, 1996), serta diterjemahkan oleh Harry Aveling untuk Secrets Need Words: Indonesian Poetry 1996—1998 (Ohio University Press, 2001) dan diterjemahkan ke dalam bahasa Belanda serta dimuat dalam Toekomstdromen (Amsterdam, 2004). Puisi yang berbahasa  Sunda juga sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Ayip Rosidi dan Wendy Mukherjee untuk Modern Sundanese Poetry: Voices from West Java (Pustaka Jaya, 2001) dan dalam bahasa Prancis oleh Ayip Rosidi dan Henry Chambert Loir untuk Poemes Soundanais: Antologie Bilingue (Pustaka Jaya, 2001).
Di samping menulis puisi, Acep Zam Zam Noor sampai sekarang masih aktif dalam pameran lukisan, baik di dalam maupun luar negeri, seperti di Singapura, Filipina, Belanda, dan Malaysia.
Beberapa penghargaan yang telah diraih:
1.       Hadiah Sastra Lembaga Bahasa Jeung Sunda untuk puisi Sunda pada tahun 1991 dan 1993            
2.       Nomine hadiah Rancange untuk Dayeuh Matapoe tahun 1994
3.       Penghargaan penulisan karya sastra dari Pusat Bahasa, Departemen Pendidikan Nasional, untuk karya Di Luar Kata tahun 2001
4.       Penghargaan penulisan karya sastra dari Pusat Bahasa, Departemen Pendidikan Nasional, tahun 2005 untuk karya Jalan Menuju Rumahmu
5.       Penghargaan  The Sea Write Awards tahun 2005 untuk karya Jalan Menuju Rumahmu


Selasa, 05 Mei 2015

Biografi Sastrawan Adinegoro


 Biografi Sastrawan Adinegoro
Adinegoro lahir di Talawi, Sumatera Barat, pada tanggal 14 Agustus 1904. Nama aslinya sebenarnya bukan Adinegoro, melainkan Djamaluddin gelar Datuk Madjo Sutan. Ia adalah adik sastrawan Muhammad Yamin. Mereka saudara satu bapak, tetapi lain ibu. Ayah Adinegoro bernama Usman gelar Baginda Chatib dan ibunya bernama Sadarijah, sedangkan nama ibu Muhammad Yamin adalah Rohimah.
Adinegoro terpaksa memakai nama samaran karena ketika bersekolah di Stovia ia tidak diperbolehkan menulis. Padahal, pada saat itu keinginannya menulis sangat tinggi. Dengan demikian, dipakainyalah nama samaran Adinegoro tersebut sebagai identitasnya yang baru. Ia pun dapat menyalurkan keinginannya untuk memublikasikan tulisannya tanpa diketahui orang bahwa Adinegoro itu adalah Djamaluddin gelar Datuk Madjo. Oleh karena itulah, nama Adinegoro sebagai sastrawan lebih terkenal daripada nama aslinya, Djamaluddin.

Pendidikan Sastrawan Adinegoro
Adinegoro sempat mengenyam pendidikan selama empat tahun di Berlin, Jerman Timur. Ia mendalami masalah jurnalistik di negara itu. Selain itu, ia juga mempelajari masalah kartografi, geografi politik, dan geopolitik. Pengalaman belajar di Jerman itu sangat banyak menambah pengetahuan dan wawasannya, terutama di bidang jurnalistik. Adinegoro, memang, lebih dikenal sebagai wartawan daripada sastrawan.
Ia memulai kariernya sebagai wartawan di majalah Caya Hindia, sebagai pembantu tetap. Setiap minggu ia menulis artikel tentang masalah luar negeri di majalah tersebut. Ketika belajar di luar negeri (1926—1930), ia juga menjadi wartawan bebas (freelance journalist) di surat kabar Pewarta Deli (Medan), Bintang Timur, dan Panji Pustaka (Jakarta). Setelah kembali ke tanah air, Adinegoro memimpin majalah Panji Pustaka (pada tahun 1931. Akan tetapi, ia tidak bertahan lama, hanya enam bulan. Sesudah itu, ia memimpin surat kabar Pewarta Deli di Medan (1932—1942). Ia juga pernah memimpin Sumatra Shimbun selama dua tahun. Kemudian, bersama Prof. Dr. Supomo, ia memimpin majalah Mimbar Indonesia (1948—1950). Selanjutnya, ia memimpin Yayasan Persbiro Indonesia (1951). Terakhir, ia bekerja di Kantor Berita Nasional (kemudian menjadi KBN Antara). Sampai akhir khayatnya Adinegoro mengabdi di kantor berita tersebut.
Dua buah novel Adinegoro yang terkenal (keduanya ditulis pada tahun 1928), yang membuat namanya sejajar dengan nama novelis besar Indonesia, adalah Asmara Jaya dan Darah Muda. Ajip Rosidi dalam buku Ikhtisar Sejarah Sastra Indonesia (1982) mengatakan bahwa Adinegoro merupakan pengarang Indonesia yang berani melangkah lebih jauh menentang adat kuno yang berlaku dalam perkawinan. Dalam kedua romannya, Adinegoro bukan hanya menentang adat kuno, melainkan juga dengan berani memenangkan pihak kaum muda yang menentang adat kuno itu (yang dijalankan oleh pihak kaum tua).
Di samping kedua novel itu, Adinegoro juga membuat novel lainnya, yaitu Melawat ke Barat, yang merupakan kisah perjalanannya ke Eropa. Kisah perjalanan itu diterbitkan pada tahun 1930.
Selain itu, ia juga terlibat dalam polemik kebudayaan yang terjadi sekitar tahun 1935. Esainya, yang merupakan tanggapan polemik waktu itu, berjudul “Kritik atas Kritik” terhimpun dalam Polemik Kebudayaan yang dieditori oleh Achdiat Karta Mihardja (1977). Dalam esainya itu. Adinegoro beranggapan bahwa suatu kultur tidak dapat dipindah-pindahkan karena tiap bangsa telah melekat tabiat dan pembawaan khas, yang tidak dapat ditiru oleh orang lain. Ia memberikan perbandingan yang menyatakan bahwa suatu pohon rambutan tidak akan menghasilkan buah mangga, dan sebaliknya.

KARYA Sastrawan Adinegoro

Novel
1.       Darah Muda (Batavia Centrum: Balai Pustaka, 1931)
2.       Asmara Jaya (Batavia Centrum: Balai Pustaka, 1932)
3.       Melawat ke Barat (Jakarta: Balai Pustaka, 1950)

Cerita Pendek
1.       “Bayati es Kopyor” (Varia, No. 278, Th. Ke-6. 1961)
2.       “Etsuko” (Varia, No. 278, Th. Ke-6, 1961)
3.       “Lukisan Rumah Kami” (Djaja,  No. 83, Th. Ke-2, 1963)
4.       “Nyanyian Bulan April” (Varia,  No. 293, Th. Ke-6, 1963)
Demikan tadi Biografi Sastrawan Adinegoro


Selasa, 28 April 2015

PENGGURU YANG BERGURU


Coretan Tinta: RANTI SUCI LESTARI

Minggu siang memang waktu yang enak untuk bersantai, atau sekedar memanjakan diri dengan ungkang-ungkang kaki sambil makan gorengan dan minum kopi. Itulah yang dilakukan Pak Gunawan di samping rumahnya yang menghadap kebun singkong milik tetangga. Diseruputnya secangkir kopi manis sambil sesekali memperhatikan selembar kertas putih di tangan kirinya. Angin menambah kemanjaan hari dengan hembusannya yang semilir, apalagi siang itu tak begitu terik.
“hemh..., mungkin ini yang namanya bermalas-malasan. Pantas orang banyak yang seneng. Owalah..., dasar wong urip!” desah Pak Gunawan sambil memperbaiki posisi duduknya lalu meletakkan kertas itu di atas tumpukan kertas lain di meja. Jiwanya begitu tenang dan damai dimanjakan alam sebelum...
Kelontang... tang...tang...preng...
Gunawan         : Waduh, Suara opo tu Bu?
Bu Nuriah        : ya Allah gusti....., sayur asemku ludes. Tempe goreng yo amblas. Dasar bocah!!! Mas!!, Mas!! Mas Gunawan!!
Gunawan         : Opo to Bu?, ribut banget? Aku lagi ngoreksi ulangan anak-anak ki lho.
Bu Nuriah        : Lihat ni...!, Sayur asem sama tempe goreng buat makan kita sampe malem ludes dimakan Eko. Terus kita suruh makan apa?
Gunawan         : Kalo abis yo masak lagi to bu..., kox koyo wong kelangan duit okeh.
Bu Nuriah        : Masak lagi? Emang masak itu gak capek apa? Kalo gitu Mas aja yang masak sana!
Gunawan         : Lho?, kox malah aku to?
Bu Nuriah        : Ibu sudah bilang sama Mas, kalau dia itu cuman nyusahin kita aja. malah ngajak numpang di rumah kita yang pas-pasan kayak gini. Gaji mas dari ngajar gak bakal cukup buat sekedar ngisi perut dia. Ngerti gak to Mas?
Gunawan         : Sudah lho Bu, kita jangan terus-terusan nyalahin Eko kayak gini. Mungkin dia emang lagi laper banget. Wes, gak usah banter-banter ngomele, malu kedengeran tetangga.
Bu Nuriah        : La terus harus kepiye to Mas? aku wes kesel ngasih nasehat sama ponakan rakusmu itu.
Gunawan         : Sabar Bu, nanti juga ada solusinya.
Bu Nuriah        : Yoalah Mas,,,, kurang sabar opo aku ki. Mas Gunawan ini guru, kenapa malah gak bisa ngajarin ponakan sendiri. Ajarin biar hemat, BBM sekarang itu naik. Bentar lagi belanjaan juga bakal naik. Kalo gaji mas tetep segini aja tapi Eko gak bisa ngerem makannya kepiye coba?
Gunawan         : Waduh!, tadi kertas ulangan anak-anak tak tarok mana ya? Gawat ki lak ilang. Endi yo? (Pak Gunawan mencoba kabur dari oocehan istrinya)
Bu Nuriah        : Mas!, aku belum selesai. Malah nyelimur to? Mas! Mas!
            Pak Gunawan adalah guru di salah satu SMP di Kota Metro. Istrinya hanyalah ibu rumah tangga biasa yang kesehariannya beresin rumah dan hobi masak. Sudah hampir satu tahun mereka menampung Eko, keponakan Pak Gunawan yang sekarang duduk di kelas dua SMP di sekolah yang sama. Badannya yang gemuk menandakan bahwa dia hobi makan. Porsi makannya yang besar membuat Bu Nuriah uring-uringan setiap hari dan Pak Gunawan harus extra sabar mendengar ocehan Istrinya. Jengkelnya lagi, Eko seakan babal dengan nasehat dan teguran dari berbagai pihak. Mulai dari kakek neneknya, teman-teman dan yang pasti Bu Nuriah dan Pak Gunawan. Bahkan pernah Pak Gunawan mengajak Eko ke Puskes supaya dokter di sana menasehati Eko untuk mengerem nafsu makannya yang besar. Namun, Eko kurang istiqomah mengaplikasikan teguran-teguran tersebut.
***
Keesokan harinya ruang kelas 3A begitu ribut. Kelas yang seharusnya diisi pelajaran sejarah malah digunakan siswa mengobrol dan bernyanyi-nyanyi dengan suara fales yang gak jelas. Ketua kelas mencoba menghadap Pak Gunawan yang menjadi guru pelajaran sejarah indonesia agar kelasnya diajar.
Ardi                 : Permisi Pak, saya ketua kelas 3A dan sekarang jam pelajaran Bapak, sejarah Indonesia.
Pak Guwanan  : Oh iya, sebentar bapak lagi beresin ulangan harian kalian minggu lalu. Kalian baca sendiri dulu materinya nanti bapak jelasin. Mungkin sekitar lima belas menit lagi.
Ardi                 : nilainya bagus-bagus gak pak?
Pak Gunawan  : lumayan..., kalo belajar ya nanti nilainya bagus.
Ardi                 : kalo begitu saya permisi Pak! Assalamu’alaikum...
Pak Gunawan  : ya, wa’alaikumsalam... oya di sebentar!, kamu kenal Eko ponakan Pakde?
Ardi                 : Kenal pak. Kenapa pak?
Pak Gunawan  : Kamu tahukan Eko itu gemuk dan makannya banyak. bapak mau minta tolong kamu.
Ardi                 : oh,,, itu si sudah jadi rahasia umum Pak. Bahkan anak baru pun gak ada yang gak kenal ponakan Bapak itu. kira-kira saya bisa bantu apa ya Pak?
Pak Gunawan  : bantu bapak cari cara biar Eko gak rakus lagi makannya. Jujur bapak udah kewalahan ngadepin dia.
Ardi                 : hemh...., gimana ya Pak caranya? Aku juga sudah pernah bilang sama dia buat ngurangin porsi makan waktu acara bukber sekolah kemaren karena hampir ngabisin jatah buat tiga orang. Tapi dia tetep rakus makan. Aku juga bingung sendiri ni Pak.
Pak Gunawan  : Ayolah Di..., coba kamu pikirin lagi. Nanti kalo rencana kamu berhasil akan Bapak naikin nilai kamu.
Ardi                 : Beneran Pak? Wahhhh...
Pak Gunawan  : masak Bapak bohong?
Ardi                 : gimana ya?........ hemh....., AHA! Aku punya ide Pak. Dari gosip yang saya denger, katanya Eko itu suka sama anak kelas 1 yang namanya Amanda. Bagaimana kalau kita minta bantuan dia buat ngejanjiin sama Eko, bahwa dia mau jadi pacar Eko dengan syarat Eko harus turunin berat badannya sampai ukuran ideal. Gimana Pak?
Pak Gunawan  : tapi apa Amandanya mau?
Ardi                 : Pasti mau Pak, kan yang nyuruh gurunya sendiri. Apalagi kalo bapak janjiin sama dia nilai tinggi juga kayak saya. Sepertinya anaknya juga gak pinter-pinter banget.
Pak Gunawan  : yaudahlah...., kamu aja yang ngatur. Bapak pening! Kamu yang minta sama anaknya ya. Terus jangan sampek Eko tahu sama rencana kita.
Ardi                 : Sip Pak!!!
Ardi keluar ruangan kantor menuju kelas.
***
Ketika pulang sekolah Ardi dan Amanda mulai beraksi. Eko terlihat sedang duduk di kantin sambil menyantap nasi uduk sendirian. Kesempatan bagus! Sekolah mulai agak sepi dan Eko nampaknya masih khusyuk menyantap makanannya.
Amanda           : Ka Ardi! Aku takut ah..., gimana kalau Ka Eko beneran kurus terus aku harus jadi pacarnya?
Ardi                 : Butuh bertahun-tahun ngurusin badan kayak gajah begitu. Toh, kamu juga pasti udah lulus dari sekolah ini. jadi gak usah khawatir. Ini permintaan dari guru langsung lho. Lagian biar nilai kamu yang katanya pas-pasan itu bisa naek.
Amanda           : iya sih..., tapi kan?...
Ardi                 : Udah sana cepet!, nanti Eko keburu pulang!
Amanda mulai mendekati Eko yang sedang memasukan sendok terakhir nasi uduk ke mulutnya. Amanda pun menelan ludah sambil kakinya gemetar. Ardi bersembunyi di balik pohon sambil memperhatikan. Dada Ardi pun bergemuruh seperti sedang menyaksikan adegan pokok dalam sebuah film yang langsung berakting di depannya. Pak Gunawan berdo’a agar rencana ini berhasil.
Amanda           : Assalamu’alaikum Ka Eko!
Eko                  : Wa’alaikumsalam..., eh Amanda. Tumben..., kenapa dek?
Amanda           : Ka Eko, hemh....., hemh...., aku mau jadi pacar kakak!
Eko                  :APA?.....
Amanda           : Tapi ada syaratnya. Kakak harus kurus kayak artis korea yang ganteng-ganteng itu dulu. Baru aku mau jadi pacar kakak. Kakak setuju?
Eko                  : kenapa tiba-tiba kayak gini? Hemh..., mencurigakan. Apa alasan kamu? ada yang nyuruh ya? Ngaku aja!
Amanda           : e’’e’e’e, enggak kox ka! Ini tulus dari hati Manda yang paling dalam. Manda serius ka!
Eko                  : gak percaya! Soalnya aku tahu semua orang pengen aku kurus. Mereka semua pengen aku ngurangin porsi makan. Kamu anak baru, jadi kayaknya gak mungkin senekad itu cuman pengen aku kurus. Pasti kamu disuruh orang lain.
Amanda           : beneran Ka...!
Di tempat lain Ardi berusaha menguping pembicaraan Eko dan Amanda. Namun karena jarak yang cukup jauh membuat suara mereka tak terdengar begitu jelas. Ditambah semut merah yang marah rumahnya diusik oleh Ardi membuat dia harus menyingkir dan hanya bisa memperhatikan Eko dan Amanda dari kejauhan.
Eko                  : Manda, aku tahu kamu lagi bohong. Tapi karena aku suka sama kamu aku gak akan kasih tauk siapa-siapa kalo kamu mau jujur. Aku juga gak akan bilang sama orang yang nyuruh kamu. jadi mending ngomong yang sebenarnya dari pada nanti aku marah. Inget, kamu baru kelas 1. Jangan buat masalah dengan kakak kelas. Ngerti!?
Amanada         : Maaf Ka, aku disuruh sama Ka Ardi, dan Ka Ardi katanya disuruh Pak Gunawan. Kalau rencannya berhasil aku sama Ka Ardi nilainya mau dinaikin.
Eko                  : jadi begitu..., hemh.... yaudah, kamu ngomong sama mereka kalo misi kamu lancar. Jangan bilang kalau aku sudah tauk rencana mereka. Udah sana!
Amanda           : ka, boleh komentar gak? Kakak itu udah gede harusnya sadar, sekarang BBM naik, pasti beban biaya Pak Gunawan juga naik. Aku dan cewek-cewek lain juga ogah sama orang banyak makan apalagi suka ambil jatah makan orang lain. Gemuk si gak papa, tapi seenggaknya gak egois. Galak lagi.
Eko                  : Kamu cerewet banget. Udah sana pegi!
Amanda langsung pergi meninggalkan Eko yang masih nampak emosi di kantin. Tiba-tiba seseorang menghampirinya sambil menggaruk-garuk tangan dan kakinya.
Ardi                 : gimana Nda? Sukses?
Amanda           : emh..., sukses Kak!
Ardi                 : Yesssss! Yaudah makasih ya, aku akan ngomong ke Pak Gunawan.
Amanda           : iya ka, sama-sama.
***
Eko pulang dengan perasaan yang terbakar. Dia kecewa pada Pakdenya yang begitu nekad memanfaatkan posisinya sebagai guru demi membuat dia mengurangi jatah makan yang sudah menjadi kebutuhan wajibnya. Padahal dia begitu kagum pada pakdenya yang seorang guru yang menurutnya pantas diteladani. Bahkan, dia bercita-cita menjadi guru seperti Pakdenya itu. tetapi, guru yang seharusnya menjadi contoh baik malah mengajarkan sesuatu yang tidak baik.
Tiba-tiba Hpnya berbunyi.
Eko                  : Assalamu’alaikum Kek! Ada apa kek?
Kakek              : Ko, minggu depan kamu kakek jemput ya. Kasian Pakdemu, sekarang BBM naik. Kakek takut Pakdemu gak sanggup ngasih makan kamu yang banyak itu.
Eko                  : sebegitu seriusnya tah masalah makanku Kek? Sampek semua orang berusaha membuat aku ngurangin makan?
Kakek              : banget le..., masalahnya kamu nyusahin orang. Kalo kamu bisa kasih makan diri kamu sendiri itu gak papa. Tapi Pakdemu juga punya tanggungan lain yang penting. Gak cuman sekedar ngasih kamu makan. Bahkan, orang tua kamu sampek pergi kerja keluar jadi TKI karena cuman pengen nyukupin kebutuhan kamu aja. Kakek cuman pengen minta pengertian kamu aja le!
Eko                  : Eko ngerti Kek, nanti Eko bilang sama Pakde Gunawan kalo mau pindah ke rumah Kakek.
Kakek              : yowes le..., Assalamualaikum.
Eko                  : Walikum salam...
***
Malam itu sesuatu yang luar biasa terjadi di rumah Pak Gunawan. Sebuah kejadian yang akan dikenang sebagai sejarah di keluarga itu benar-benar mengejutkan Bu Nuriah. Pasalnya eko yang tadinya makan sedikitnya dua piring nasi malam itu hanya menyiduk satu centong nasi dan sedikit lauk. Pak Gunawan dan Bu Nuriah saling pandang tak percaya. Meja makan begitu khusyuk memperhatikan kejadian langka yang harapannya akan selamanya. Rencanya ecek-ecek Pak Gunawan dan Ardi ternyata manjur. Sepertinya Eko benar-benar menyukai Amanda sampai-sampai meninggalkan hobi akutnya yaitu makan banyak.
Pak Gunawan  : kamu gak lagi sakit kan Ko? Tumben kamu cuman makan sedikit?
Eko                  : Enggak Pakde, Eko sekarang gak mau makan banyak-banyak lagi.
Bu Nuriah        : kamu serius? Alhamdulillah.....
Pak Gunawan  : Wussss..., pakde boleh tauk alesannya?
Bu Nuriah        : Alesan mah gak penting Mas, sekarang yang penting kita harus sujud syukur terus do’a biar Eko istiqomah kayak gini terus.
Eko                  : jangan khawatir Bude, Eko gak akan ngabisin nasi sama sayur bude. Eko akan tahan ngiler nyium masakan Bude yang enak itu.
Pak Gunawan  : Alhamdulillah...
Eko                  : Oya Pakde, aku punya cita-cita jadi guru kayak Pakde. Eko harap Eko gak salah mengidolakan Pakde sebagai guru yang pantes Eko Contoh, yang gak menyalahgunakan jabatan untuk kepentingan pribadi. Cuman itu keinginan Eko buat Pakde.
Pak Gunawan  : kenapa kamu ngomong gitu Ko?
Eko                  : Pakde ngerti apa masksud Eko. Udah ya Pakde, eko mau belajar.
Pak Gunawan merenungi kata-kata Eko barusan. Rasanya benar-benar masuk ke relung hati. Sedangkan Bu Nuriah sedang melayang karena senang uang belanjanya bisa buat beli baju dan lain-lain.
Seminggu kemudian Eko pindah ke rumah kakeknya. Bu Nuriah semakin senang dan Pak Gunawan merasa menyesal atas perbuatannya yang seperti anak kecil itu.
Eko                  : Pakde, Bude Eko pamit ya...! jangan khawatir Eko akan sering-sering mampir ke rumah Pakde.
Pak Gunawan  : rajin belajar yo le,!
Eko                  : Pasti Pakde, Eko kan pengen jadi guru kayak Pakde.
Bu Nuriah        : Jangan makan banyak lagi yo le...,
Eko                  : hehehehe, InsyaAllah Bude, rumah kakek makanannya gak seenak Bude kox.       
Kakek              : Wes awan, yok mangkat!
Eko                  : Assalamu’alaikum...
Pak Gunawan dan Bu Nuriah  : Walaikumsalam...
 Pak Gunawan akhirnya memetik sebuah pelajaran berharga dari Eko bahwa ilmu dan pencerahan tidak sertamerta berasal dari seorang yang bertitel guru, tetapi semua orang bisa menjadi guru untuk orang lain.


luvne.com resepkuekeringku.com desainrumahnya.com yayasanbabysitterku.com